Selasa, 20 Maret 2018

Takut Berhutang

Takut Berhutang  

Ini kejadian beberapa belas tahun yang lalu yang tidak pernah aku lupakan. Suatu hari aku dan seorang teman lain ditraktir makan siang. Kami bertiga makan di rumah makan Padang di tengah kota Balikpapan. Kedua orang itu (termasuk yang menraktir) bukan orang Padang tapi sangat menyukai masakan Padang. Restoran yang kami datangi yang paling baik masakan Padangnya. Ramai pengunjungnya.

Setelah selesai makan, kami kembali ke kantor. Aku yang menyetir. Tiba-tiba si yang menraktir berteriak kaget dan menyuruh agar kami kembali ke restoran tadi.

'Ada yang ketinggalan?' tanyaku. 

'Tidak,' jawabnya. 

'Lalu kenapa?' temanku yang satunya pula bertanya.

'Pembayaran kita salah,' katanya ringkas.

'Maksudnya? Kamu terlanjur membayar lebih?'

'Sebaliknya...... Ada yang kita makan tapi tidak mereka hitung. Aku tadi memakan paru goreng. Di sini tidak ditulis petugas tadi itu,' dia menjelaskan.

'Alaaaah.... sudah sajalah. Lain kali kita makan di sana baru kita bayar. Kita nanti terlambat kembali ke kantor,' temanku mengusulkan.

'Tidak bisa demikian. Aku tidak mau berhutang. Kalau saja aku nanti siang atau besok mati, dan aku dalam keadaan berhutang, aku tidak mau....'

Aku akhirnya memutar balik mobil kami di sebuah putaran U, kembali menuju restoran tadi. Sesampai di sana si yang menraktir bergegas turun, langsung masuk lagi ke restoran itu. Beberapa menit kemudian dia keluar dengan tersenyum.

'Beres?' tanyaku.

'Beres,' jawabnya singkat.

Lama kami saling diam dalam perjalanan menuju kantor. Tapi akhirnya temanku yang satunya membuka suara.

'Memang berat betul sangsinya kalau kita berhutang lalu kita mati dalam keadaan berhutang?' tanyanya.

'Ya, berat sekali. Beratnya karena ketika kamu disuruh melunasinya nanti di pengadilan Allah di akhirat, kamu tidak punya apa-apa untuk membayarnya.' 

'Tapi.... Seperti kejadian tadi itu. Kan bukan salah kita. Bukankah petugas restoran itu yang salah?'

'Dia yang salah. Dan aku menemukan kesalahannya. Kalau aku diamkan maka akulah yang salah. Apalagi aku sendiri yang memakan paru goreng tadi itu.'

'Seandainya yang aku makan tidak dihitungnya? Apakah kamu akan kembali membayarnya juga?'

'Aku akan kembali membayarnya karena aku yang mentraktir kalian.'

Temanku yang satunya sepertinya menilai hal itu sedikit berlebihan. Paling tidak seperti yang dikatakannya sebelumnya, kan bisa dibayar ketika kita berkunjung lagi ke restoran itu di waktu lain. Tapi aku mencatat betul kejadian itu dalam hatiku. Dan aku sangat setuju dengan teman si penraktir.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar