Selasa, 06 September 2016

Pajak

Pajak   

Kita tahu, bahwa pajak adalah pungutan yang dilakukan penguasa dari rakyat. Penarikan atau pungutan pajak sudah dikenal sejak jaman dahulu kala. Para raja memungut pajak dari rakyat sebagai tanda takluk kepada kekuasaan sang raja. Rakyat membayar pajak dengan apa yang mereka punyai, entah hasil pertanian, peternakan ataupun dengan emas atau uang logam. Sebuah negeri yang tertakluk harus membayar upeti kepada negeri penakluknya, dan upeti itu bisa berupa kumpulan pajak dari rakyat jelata. Dalam banyak hikayat dan cerita, maka raja di raja sebuah negeri hidup berkecukupan di istananya yang megah dari hasil pajak dan upeti yang diterima kerajaan. 

Di dunia modern sekarang ini rakyat tetap diharuskan membayar pajak. Ini juga berlaku di negara kita. Kita mengenal pajak pembelian, pajak penjualan, pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan, pajak penghasilan dan sebagainya. Pungutan pajak digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, menyiapkan fasilitas umum untuk rakyat, menggaji pegawai pemerintah dan sebagainya. Penguasa atau pemerintah wajib memberikan pelayanan serta perlindungan bagi rakyat dalam menjalani hidup mereka sehari-hari. Pemerintah sebagai pemungut pajak menjamin keamanan, kenyamanan dan ketenangan di tengah masyarakat. Begitu idealnya.

Karena sifatnya pungutan, ada saja anggota masyarakat yang berusaha untuk menghindar dari melunasi pajak. Mereka berusaha menghindar dari membayar atau kalaupun membayar, hanya sebahagian saja dari kewajibannya. Untuk yang terakhir ini misalnya dengan berkongkalingkong dengan petugas pajak. Kita menyaksikan petugas pajak yang akhirnya dimasukkan ke penjara karena keterlibatannya dalam manipulasi atau pembohongan para wajib pajak.  Lalu ada lagi yang sengaja menyimpan uangnya di luar negeri agar terhindar dari kewajiban membayar pajak. Padahal uang itu adalah hasil usahanya di dalam negeri. 

Nah, menurut berita, pemerintah berusaha menarik uang yang disimpan di luar negeri itu agar dibawa pulang kembali ke Indonesia dengan memberikan pengampunan pajak. Dan pemerintah mencanangkan pengampunan tersebut dengan istilah keren dalam bahasa Inggeris sebagai tax amnesty. Hanya saja, entah bagaimana jalan ceritanya, tax amnesty ini tiba-tiba menyasar kepada masyarakat awam yang bukan penyimpan uang di luar negeri. Pemerintah mengharuskan agar setiap orang yang mempunyai harta, melaporkan hartanya tersebut. Lalu terjadi kesimpang-siuran. Menurut cerita yang beredar di internet, konon ada seseorang yang mempunyai sebuah rumah di atas tanah yang sudah dimilikinya sejak puluhan tahun. Si pemilik ini seorang pensiunan dan tidak memiliki NPWP. Rumah dan tanahnya tersebut ditaksir dengan harga sekarang. Hitung punya hitung, nilainya sudah sekian M dan dia harus membayar sesuai dengan ketetapan pemerintah, yang jika dilunasinya sebelum 30 September 2016, jumlahnya 90 juta rupiah. Padahal dia hanya menerima pensiun tidak sampai 3 juta rupiah sebulan. 90 juta itu jelas suatu jumlah yang luar biasa baginya dan dia tidak sanggup membayarnya. 

Banyak protes dari anggota masyarakat tentang pelaksanaan pengampunan pajak tersebut. Syukurlah sepertinya ada sedikit perubahan penafsiran tax amnesty ini. Kemarin aku datang ke kantor pajak Bekasi untuk bertanya. Bagaimana dengan harta yang selama ini didaftarkan sebagai milik istri, sedangkan istri tidak memiliki NPWP. Menurut petugas pajak kemarin itu, jika harta itu didapat dengan uang yang sudah dibayar pajaknya, maka tidak dikenai pajak lain dan cukup dilaporkan dalam perbaikan laporan pajak tahunan suami.  Aku belum memasukkan perbaikan laporan itu. Mungkin besok atau lusa. 

****                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar