Rabu, 18 November 2015

Meraun

Meraun    

Sebelum menyetujui untuk ikut si Bungsu menanyakan apa saja program perjalanan ini. Kemana saja akan pergi, tempat-tempat apa saja yang akan dikunjungi. Akupun membuat rencana yang agak rinci. Kita akan mengunjungi Harau, Pagaruyung, Puncak Lawang, Maninjau terus ke Tiku dan Pariaman. Ke Singkarak, mengunjungi kampung Simawang, kampung asal nenek 'mereka'. Tentu saja disertai wisata kulinernya. Dia setuju dan bahkan sangat antusias. 

Kami berangkat dari Sawahlunto jam sembilan pagi hari Jum'at. Aku berniat untuk shalat Jum'at di mesjid Darussalam di Koto Tuo, kampungku. Kami lalui Talawi kampung dan tempat dimakamkan Mr. Muhammad Yamin salah seorang penting dan menteri di jaman pemerintahan presiden Soekarno. Kami lalui jalan berliku dengan pemandangan yang menyejukkan menuju Batusangkar. Lalu melalui Tabekpatah, terus ke Baso dan akhirnya sampai di kampung jam sebelas lebih. 

Sesudah shalat Jum'at kami keluar untuk makan siang. Pilihannya adalah restoran Pondok Baselo di Batang Ayia Katiak, sekitar 3 km dari rumah di kampung. Restoran ini relatif masih baru. Kami agak surprise ketika ditawari apakah mau memilih menu masakan Minang atau Sunda. Pilihan kami tentu saja masakan urang awak. Restoran ini bersih, rapi, dengan rasa masakan yang sesuai dengan selera. Dan dengan harga yang wajar, tidak mahal. 

Berikutnya kami kembali ke kampung, mengunjungi Ma'had Syekh Ahmad Khatib. Berbincang-bincang dengan ustadz Afdil pimpinan Ma'had dan melihat pembangunan asrama santri yang sedang berjalan. Para santri terlihat sibuk dengan aneka macam olah raga seperti sepak takraw, pingpong (dengan meja seadanya), futsal. Terlihat ramai sekali mereka itu.

Malamnya kami ke bofet nasi goreng di Simpang Bukik. Makanan khas disini adalah nasi goreng, mie goreng, mie rebus dan sebangsanya. Tempatnya sebenarnya agak terpencil dan jauh dari kota Bukit Tinggi, tapi usaha ini sudah bertahan bertahun-tahun sebagai bukti bahwa keberadaannya diakui pelanggannya. Si Bungsu tertawa mendengar istilah bofet yang artinya rumah makan yang tidak menyediakan nasi dengan aneka lauk pauk. Kalau yang terakhir ini di sebut lepau nasi atau rumah makan. 

Hari Sabtu kami mulai pergi meraun. Sudah agak siang kami berangkat. Berhenti dulu untuk shalat zuhur di sebuah mesjid di Payakumbuh. Mula-mula ke Lembah Harau. Lembah dengan dinding batu tegak lurus dan air terjun ini selalu indah untuk dilihat. Si Bungsu terkagum-kagum. Tidak banyak pengunjung siang itu dan kamipun tidak berlama-lama di sana. 

Perut sudah terasa lapar. Kami kembali ke arah Payakumbuh dan terus ke Situjuah. Ke sebuah rumah makan yang katanya terkenal dengan pongek Situjuah dan gulai kambingnya. Aku menilai hidangan di rumah makan ini lumayan enak, tapi istriku kecewa ketika mendapatkan pongek Situjuah ternyata hanya pangek nangka muda tanpa dicampur daging atau ikan. 

Dari Situjuah kami melanjutkan perjalanan ke Pagaruyung, mengunjungi istano basa. Istriku yang bermasalah dengan lututnya tidak berminat ikut masuk ke dalam istano itu, karena beberapa bulan yang lalu kami juga sudah berkunjung ke sini. Dia menunggu di tempat parkir mobil sementara aku dan si Bungsu memasuki rumah gadang. Si Bungsu cukup antusias. Kami melihat-lihat bagian belakang (dapur) dan setelah itu naik ke lantai dua. Banyak pengunjung berfoto-foto dalam pakaian marapulai anak daro.  Setelah kira-kira setengah jam berada di dalam istano basa itu kamipun keluar. 

Dari Pagaruyung kami kembali ke arah Batusangkar dan terus ke arah Padang Panjang. Kami mengelilingi gunung Marapi. Kenapa lewat jalan itu? Karena kami akan makan malam di rumah makan Aie Badarun yang terletak di luar kota Padang Panjang arah ke Bukit Tinggi.

Meraun hari itu berakhir jam sembilan malam.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar