Selasa, 31 Oktober 2017

Inilah Tahun-tahun Kelam Bagi Pasa Ateh Bukit Tinggi (Dari Padangkita.com)

 Inilah Tahun-tahun Kelam Bagi Pasa Ateh Bukit Tinggi (Dari Padangkita.com)

Padangkita.com – Terbakarnya Pasa Ateh (Pasar Atas) Kota Bukittinggi, Senin (30/10/2017) bukanlah kali pertama yang tercatat dalam sejarah. Setidaknya telah 4 kali Pasa Ateh mengalami kebakaran dan akhirnya dibangun kembali.

Dalam catatan sejarahnya, Pasa Ateh mengaliri sejarah Bukittinggi, melintasi di tiga zaman berbeda; era kolonial Belanda, masa Jepang, dan masa kemerdekaan. Lebih dari sekedar menjadi lini ekonomi Bukittinggi, Pasa Ateh adalah harga diri orang Agam Tuo. Bukan sekedar orang Kurai saja. Pasa Ateh adalah hegemoni ekonomi masyarakat. Walikota Bukittinggi, Ramlan Nurmatias mengatakan Pasa Ateh pernah terbakar beberapa kali, yakni pada tahun 1972, 1995, 1997 dan 2017. Dan kebakaran yang terjadi kemarin, merupakan kebakaran terbesar dengan total kerugian mencapai triliunan rupiah.

Ramlan menjelaskan pasa Ateh pertama kali terbakar pada tahun 1972. Presiden Soeharto langsung membangun ulang pasa Ateh dan selesai pada tahun 1974. Dana yang digunakan untuk pembangunan kembali pasa Ateh tersebut berasal dari pemerintah pusat.

“Dulu pasar ini terbakar pada tahun 1972. Di tahun itu pula pasar ini dibangun dan selesai pada tahun 1974,” katanya kepada wartawan, Senin (30/10/2017). Pada tahun 1972 tersebut, Pasa Ateh yang waktu itu masih bernama los galuang mengalami kebakaran, semua kios yang ada baik di bagian depan maupun belakang pasar hangus dimakan api.
Pada proses pembangunannya, toko dibuat dengan beberapa blok yang dikenal dengan blok A, B, C dan D yang dibangun dua lantai. Awalnya berjumlah ratusan petak dibangun menjadi dua tingkat dengan jumlah sekitar 400-500 petak kios atau toko.

28 tahun berselang, tepatnya pada tahun 1995, api kembali meluluh lantakan Pasa Ateh. Kebakaran kali ini diduga berasal dari ledakan kompor yang terjadi di lantai 1 blok C. Kebakaran ini menghanguskan semua petak toko yang ada di Pasa Ateh. Selain itu, terdapat 5 korban jiwa dalam peristiwa tersebut.

Pasa Ateh kemudian dibangun dengan dana dari pemerintah pusat dan provinsi Sumatera Barat. Meskipun pembangunan hanya bersifat merehabilitasi bangunan yang telah terbakar. Hal ini karena permintaan dari para pedagang itu sendiri. Padahal, pemerintah kota Bukittinggi ingin sekali membangun baru pasar tersebut.

Rehabilitasi bangunan bekas terbakar memakan waktu hampir satu tahun. Setelah rehab tersebut jumlah petak toko dan kios menjadi bertambah sekitar 790 petak toko dengan menambah 3 blok yakni blok D, E dan F.

Namun, 2 tahun berselang, tepatnya pada bulan Agustus 1997, kebakaran kembali terjadi di pasa Ateh. Kejadian ini diperkirakan terjadi sekira pukul 05.00 WIB. Hampir semua petak toko dan kios musnah terbakar termasuk kios pedagang kaki lima yang berada di sekitar pusat bangunan Pasa Ateh ikut hangus terbakar.

Terakhir Pasa Ateh terbakar pada, Senin (30/10/2017) sekira pukul 06.30 WIB. Kapolres Kota Bukittinggi AKBP Arly Jember mengatakan kebakaran mulai terjadi pukul 5.30 WIB pada Senin (30/10/2017) dinihari, dengan dugaan sementara akibat percikan api dari trafo listrik di salah satu toko di Blok C.

“Dari keterangan sejumlah saksi yang berasal dari penjaga pasar, dugaan sementara akibat percikan api dari trafo di salah satu toko di Blok C,” katanya. Menurutnya, dari percikan api itu maka kemudian api merembet melalui kabel ke gardu listrik di lokasi itu, hingga menyebabkan ledakan.

Kebakaran itu menyebabkan lebih dari 1.000 toko dan kios pedagang ludes terbakar. Dengan total kerugian diperkirakan berkisar Rp1,5 triliun. Toko-toko yang terbakar itu umumnya berada di lantai 2 dan lantai 3, toko milik pedagang hangus terbakar beserta isinya.

Sementara itu, Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno meminta para pedagang yang toko dan lapaknya terbakar untuk bersabar dan tabah menghadapi persitiwa tersebut.
“Mohon kepada pedagang, bersabar. Ini musibah. Kita harus menerima sebagai kenyataan, dan kami juga tidak bisa berbuat banyak,” ujarnya.

(Aidil Sikumbang)

Senin, 30 Oktober 2017

Pasa Ateh Bukit Tinggi Terbakar (Lagi)

Pasa Ateh Bukit Tinggi Terbakar (Lagi) 

Hari Senin tanggal 30 Oktober 2017, Pasa Ateh Bukit Tinggi terbakar lagi. Ini adalah kebakaran yang kesekian kalinya sejak pasar itu direnovasi, dibuat bertingkat di tahun 1970an. Sebelumnya, di area tersebut hanya ada los-los terbuka, yang kemudian dibangun sebagai pasar yang lebih permanen dan bertingkat, sehingga biasa juga dijuluki masyarakat setempat dengan pasa batingkek.  

Kebakaran kali ini adalah yang paling parah. Menurut berita  lebih dari 600 petak pertokoan yang hangus terbakar. Satu blok pasar itu boleh dikatakan porak poranda diamuk api. Api yang menyala sejak jam setengah enam pagi baru bisa dipadamkan jam setengah sebelas. Usaha memadamkan api, melibatkan belasan mobil pemadam kebakaran yang didatangkan dari kota-kota di Sumatera Barat. 

Sebagian besar dari toko-toko yang terbakar adalah toko-toko kain. Toko kain sulaman, kain songket, baju koko, busana muslimah dan sebagainya, disamping yang ditempati tukang jahit (taylor). Mungkin itu sebabnya api dengan cepat membesar. Entah berapa jumlah kerugian yang diderita para pedagang. 

Sesudah kebakaran-kebakaran yang terjadi sebelumnya, pertokoan bekas kebakaran itu hanya dipoles-poles alakadarnya dan seterusnya dipergunakan kembali oleh para pedagang. 

Entahlah, sesudah kebakaran kali ini, apakah bangunan pertokoan itu akan dirombak total dan dibangun baru atau akan kembali dipoles-poles saja. 

Ada sebuah 'keajaiban' di tengah puing-puing yang terbakar itu. Sebuah mushala kecil sama sekali tidak disentuh api, padahal toko-toko di sekelilingnya habis terbakar. Subhanallah....

Kita ikut prihatin dengan musibah yang menimpa. Kita doakan agar mereka yang mengalami musibah ini diberi kesabaran dan mudah-mudahan Allah mengganti kerugian mereka dengan yang lebih baik. Aamiin.

(Foto-foto ini di ambil dari kiriman yang beredar di WA).

****

                                       

Jumat, 27 Oktober 2017

Apresiasi

Apresiasi   

Seorang pembaca buku karanganku bertanya, apakah novel Derai-derai Cinta itu berdasarkan pengalaman pribadi? Dan aku jawab, tidak. Itu murni imajinasi alias cerita fiktif. Memangnya kenapa? aku balik bertanya. Karena mak Lembang kan sarjana geologi dari ITB, dan lakon utama dalam cerita itu juga sarjana geologi ITB. Begitu katanya. 

Ceritanya sangat menarik mak, tambahnya. Dan dihubungkan dengan peristiwa yang memang pernah terjadi, peristiwa 'galodo' di kaki gunung Marapi. Aku jawab lagi bahwa cerita itu didasari atas hal-hal yang pernah ada. Peristiwa galodo pernah ada, anak muda yang giat berusaha dan mandiri mudah-mudahan juga ada. Begitu juga lanjutan yang terjadi dalam kisah itu adalah serba mungkin terjadi di lokasi dan tempat yang memang ada. Meskipun semua itu hanya 'cerita'.

Cerita mak Lembang enak dibaca. Bahasanya dan alur ceritanya menyebabkan saya hampir tidak melepaskan buku itu sebelum tamat, katanya lagi. 

Ada beberapa orang yang memberikan apresiasi yang serupa. Ada yang mengatakan sampai menitikkan airmata membaca bagian-bagian tertentu dari rangkaian cerita itu. 

Lalu ada yang bertanya pula, kenapa buku itu tidak dijual di toko buku? Karena memang buku itu aku biayai pencetakannya sendiri dalam jumlah terbatas. Sebelumnya ada karanganku yang lain, Anak Manusia Korban Politik dicetak dan didistribusikan oleh percetakannya ke toko-toko buku. Dan tidak laku. Ada ratusan eksemplar yang dikembalikan percetakan kepadaku (karena biaya percetakan juga aku bayar sendiri sesuai perjanjian waktu itu). Padahal menurut yang membacanya cerita ini juga sangat menarik dan enak dibaca (ada belasan orang yang memberikan komentar yang sama). Jadi kenapa tidak dibeli orang? Aku merasa karena pengarangnya tidak dikenal orang. Atau karena tidak ada publisiti. Ada pula seorang rekan yang kritikus mengatakan judulnya tidak ada greget dan bahkan mengundang antipati orang untuk membelinya. Mungkin semua alasan itu benar. 

Baru-baru ini ada yang menanyakan apakah buku Anak Manusia Korban Politik masih ada stok? Ringkasnya kepada beliau-beliau ini aku kirim tiga buah buku seperti di foto di atas. 
Jadi memang begitu caranya. Kepada yang berminat aku minta alamat rumahnya lalu buku aku kirim dengan jasa Tiki.  Siapa tahu masih ada lagi yang berminat.....

****                    

Rabu, 25 Oktober 2017

Alarem Jam

Alarem Jam  

Hampir setiap pagi, dalam perjalanan ke mesjid untuk shalat subuh aku mendengar bunyi alarem jam dari sebuah rumah. Suaranya cukup jelas terdengar. Yang menjadikannya cerita adalah, ketika aku pulang dari mesjid sekitar setengah jam kemudian, bunyi alarem yang sama masih terdengar. Sepertinya yang menyetelnya berkeinginan untuk bangun di waktu subuh tapi tidak kunjung terbangun oleh suara bip-bip beraturan yang tak berhenti-henti tersebut. Luar biasa nyenyaknya tidur.

Alarem bisa menjadi alat efektif untuk membangunkan kita dari tidur kalau kita berniat sungguh-sungguh untuk terbangun. Akupun menggunakannya sudah sejak kami tinggal di Balikpapan lebih dua puluh lima tahun yang lalu. Biasanya sebelum tidur aku berniat dan berdoa kepada Allah, 'Ya Allah.... seandainya hamba masih Engkau biarkan hidup besok subuh, hamba memohon agar diberi kekuatan iman, kekuatan badan dan kesehatan untuk terbangun jam .... nanti.' Lalu, di samping itu aku setel alarem. Nah, waktu jam dan menit yang ditentukan alarem berbunyi, alhamdulillah, aku bisa bangkit dari tidur. Hal ini pernah kusampaikan kepada jamaah di mesjid kami yang bertanya bagaimana caranya agar kita bisa terbangun sebelum azan subuh setiap hari.   

Haruskah selalu dengan bantuan alarem untuk terbangun pagi? Ada orang yang bisa terbangun tanpa bantuan alat apapun. Cukup dengan niat yang sungguh-sungguh saja. Tapi menggunakan alarem sebagai alat bantu tidak ada salahnya.  

Sekali-sekali masalah timbul kalau kebetulan ada yang mengutak-atik alarem tanpa sepengetahuan kita. Atau kita menggunakannya untuk waktu berbeda tapi lupa mengembalikan setelannya untuk subuh. Karena terbiasa bangun kalau sudah mendengar suara bip-bip, meski sudah terbangun tapi alarem belum berbunyi diteruskan tidur. Baru terbangun sambil terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara azan.   

Dulu alarem yang digunakan adalah yang melekat di jam wekker. Bahkan dulu sekali ada jam jenis ini dengan bunyi sangat nyaring untuk jangka waktu tertentu, biasanya beberapa menit. Sekarang digunakan alarem di hape. Nah, kejadian agak luar biasa terjadi ketika sedang berada dalam pesawat di penerbangan jarak jauh. Alarem berbunyi bukan pada waktu yang dikehendaki (karena belum masuk waktu shalat), padahal baru saja berhasil untuk tidur. Terpaksa buru-buru bunyinya dihentikan.

****              

Selasa, 24 Oktober 2017

Jangan Mubazir

Jangan Mubazir       

Waktu aku masih kanak-kanak dahulu, nenek kami sangat cerewet mengingatkan kami agar tidak membuang-buang makanan. Ini termasuk di antaranya agar cermat dalam makan, jangan sampai berhamburan nasi ke luar piring yang nantinya akan menjadi remah dan dibuang. Makanan tidak boleh disemena-menakan, dibuang-buang alias dimubazirkan. Mubazir itu adalah perbuatan kawan-kawan setan. Begitu pesan nenekku yang aku ingat sampai sekarang. 

Dan aku berusaha untuk nyinyir pula di tengah keluargaku untuk cermat dalam memperlakukan makanan. Jangan membuang-buang atau memubazirkannya. Dalam kenyataannya tidak terlalu mudah. Seringkali makanan itu berlebih-lebih tidak termakan. Mula-mula kelebihan makanan itu disimpan di kulkas. Tapi seringkali penyimpanan seperti itu hanya tempat transit saja sebelum akhirnya dikirim ke tong sampah. 

Ada saja ibu rumah tangga yang tidak teliti dalam memperhitungkan jumlah makanan yang dimasak untuk anggota keluarga. Padahal seharusnya, karena memasak adalah kegiatan rutin di setiap rumah, tidak sulit menakar sebelum memasak. Agar masakan tidak terlalu banyak yang tersisa, yang seringkali akhirnya terbuang. 

Dalam hal tidak mubazir dengan makanan ini aku pernah melihat contoh sangat baik dari sebuah keluarga Perancis. Sekali waktu aku dan istri diundang ke rumah seorang teman Perancis. Ada dua pasangan lain selain kami yang diundang. Makanan yang disiapkan tuan rumah benar-benar pas untuk kami berdelapan. Mulai dengan salad, sup, makanan utama, makanan pencuci mulut, semuanya pas dan tidak berlebih-lebihan.  Ini berbeda dengan kecenderungan istriku yang kalau menjamu tamu berusaha agar makanan yang terhidang lebih dari cukup. Yang artinya, akhirnya tersisa. Dalam acara keluarga (misalnya arisan keluarga), makanan yang tersisa biasanya pula boleh dibawa pulang para tamu.

Membuang-buang makanan lebih memprihatinkan di tempat-tempat pesta. Ketika para tamu, mengambil makanan berlebihan lalu tidak menghabiskannya. Ini dilakukan seperti tanpa dosa. Pernah aku lewat di tempat pembuangan sampah dan melihat gunungan sisa makanan yang terbuang. 

Sulit untuk menentukan seberapa banyak masyarakat kita yang sangat enteng dalam menyia-nyiakan makanan, terutama ketika mereka hadir di pesta-pesta. Mungkin karena banyaknya ragam makanan, diikuti oleh nafsu yang ingin mencoba segala macam hidangan tersebut. Diambil lalu tidak dihabiskan, ambil lagi yang lain, tidak dihabiskan lagi, begitu seterusnya. 

Alangkah baiknya kalau kita mampu menghindar dari prilaku mubazir. Di jamuan pesta, ambil makanan secukupnya dan habiskan makanan yang diambil itu. Kalau perut masih sanggup, silahkan diambil lagi yang lain, tapi tetap untuk dimakan sampai habis. 

****             

Jumat, 20 Oktober 2017

Kebohongan Sesudah Kebohongan

Kebohongan Sesudah Kebohongan   

Sebuah kebohongan biasanya akan mengundang kebohongan berikutnya untuk menutupi bohong mula-mula. Jika seseorang terlanjur berbohong, dan ingin mempertahankan kebohongannya itu, mau tidak mau dia terpaksa membuat kebohongan lain untuk menutupinya. Semakin banyak kebohongan, semakin rapuhlah kebenaran pada yang berbohong. Ceritanya akan berputar-putar, yang dia sendiri seringkali tidak tahu lagi di mana awal dari cerita bohong yang dikarangnya.

Seseorang bisa berbohong untuk menipu satu orang atau bahkan untuk menipu banyak orang. Guruku di SMA dulu pernah mengajarkan sebuah ungkapan, (yang konon berasal dari ucapan seorang pemimpin Amerika) yang berbunyi; 'Engkau dapat membohongi satu orang untuk jangka waktu lama, atau membohongi banyak orang untuk jangka waktu pendek, tapi tidak akan mungkin membohongi banyak orang untuk waktu lama.' 

Kita mungkin bisa menipu seseorang untuk jangka waktu lama. Orang yang dibohongi tidak kunjung merasakan bahwa dia telah ditipu. Tapi kalau banyak orang yang dibohongi, akan muncul orang yang segera sadar bahwa yang disampaikan itu adalah kebohongan.  

Sering pula orang berbohong untuk memfitnah orang lain. Dikarangnya cerita untuk memburuk-burukkan orang lain atau kelompok lain. Untuk mendukung fitnahannya dikerahkannya segala daya dan upaya. Tidak perduli apakah ceritanya itu masuk akal atau tidak. Kejadian seperti ini semakin sering kita lihat. Ambil contoh tentang dua gedung bertingkat tinggi yang ditabrak pesawat terbang lalu kedua gedung itu rubuh seperti rubuhnya adonan kue. Kata orang Minang seperti jatuh tapai, (bayangkan tapai singkong yang lembek dijatuhkan ke lantai). Penguasa di negeri itu menggiring pendapat umum untuk menerima bahwa rubuhnya kedua gedung raksasa itu adalah karena ditabrak pesawat. Padahal para ahli konstruksi di negeri itu  membantah, mustahil bangunan yang kekar tinggi besar itu bisa dirubuhkan sampai ke lantai dasarnya dikarenakan kena tabrak pesawat di bagian tengahnya.  

Walaupun mungkin orang banyak malas membincangkannya, cerita itu tetap sebuah kebohongan. 

Bagi pembohong kalau orang lain sudah tidak lagi mengulas tentang kebohongannya, dia merasa sudah aman. Apalagi, kalau dikarenakan kekuasaannya orang banyak tidak berani lagi mengutak-utik. Dia tidak tahu bahwa sandainya dia terselamatkan di dunia, di akhirat nanti dia pasti akan dituntut di pengadilan Allah atas kebohongannya. 

****                         

Senin, 16 Oktober 2017

Modus Telepon

Modus Telepon   

Banyak di antara kita pernah mendengar seseorang minta dibelikan pulsa telepon dan membahasakan dirinya sebagai mama, papa, saudara dan entah siapa saja. Caranya dengan mengirim sms yang isinya minta diisikan pulsa nomor hp tertentu. Yang cukup lucu yang pernah aku baca, seorang 'ayah' yang minta hal yang sama, lalu dijawab oleh 'anak'nya, 'Lho, bapak kan sudah meninggal? Kok masih minta pulsa?' lalu dijawab, 'Eh, iya, ya,' Dilanjutkan lagi, 'Bapak jangan main hape melulu di sana, nanti dimarahin malaikat.' 

Nah, kali ini ada lagi permainan baru dengan hp. Bukan melalui sms tapi langsung menelpon. Beberapa kali aku menerima telepon dari orang yang tidak aku kenal tapi sok akrab. Bunyinya kira-kira sebagai berikut;

(Aku) Hallo.....  Assalamu'alaikum....

(Dia) 'Alaikum salam... Apa kabar nih? 

(A) Kabar baik.... Tapi maaf, ini dari siapa ya?

(D) Ini aku..... Lagi di mana sekarang?

Aku mulai agak bertanya-tanya, kalau-kalau ini dari seseorang yang tidak jelas.

(A) Lagi di rumah..... Maaf sekali lagi aku lupa, ini siapa sih?

(D) Ah.... mentang-mentang sudah makmur..... Sama teman akrab lupa..... Memang apa kesibukannya sekarang?

(A) Siapa bilang aku sudah makmur..... Tapi benar, aku ga ingat sama sekali suara ini.

(D) Teman di SMP dulu.... Sudah lama memang.... Coba diingat-ingat lagi....

Baiklah, kataku dalam hati. Akan aku uji.....

(A) Kamu dulu di SMP I Jambi juga?

(D) Iya..... aku dulu biasanya duduk di bangku di belakangmu.

Sebenarnya, sudah terjawab. Aku bukan sekolah SMP di Jambi....

(A) Oh iya.... aku ingat... dulu yang duduk di belakangku si Mansur.... Tapi ini pasti bukan dia.... Siapa ya...?

(D) Nah, itu sudah hampir ingat.... Aku sebangku dengan si Mansur.....

(A) Siapa ya..... tetap belum ingat....

(D) Aku, temanmu yang jadi polisi......

(A) Oh iya.... pertama aku tidak pernah sekolah di Jambi. Kedua aku tidak punya teman polisi..

(D) (memaki lalu mematikan hp).

___________________


Pada kesempatan lain aku menerima telepon yang mirip, kebetulan yang suaranya seperti suara teman yang aku kenal. Aku menyapanya dengan menyebut nama, dan sesudah itu dia menempatkan dirinya seolah-olah dia adalah orang yang aku maksud. Pembicaraannya tidak berpanjang-panjang, dia bercerita singkat bahwa sedang dalam kesulitan lalu langsung minta tolong diisikan pulsa juga. Tidak sekali juga dia menyebut namaku selama pembicaraan tersebut. Aku bertanya, apakah dia yakin mengetahui dengan siapa dia sedang berbicara. Dia jawab, 'dengan kamu, kan?' Aku tanya lagi, 'saya ini siapa menurut kamu?' Dia gelagapan, dan akhirnya mematikan hpnya. 

****                           

Selasa, 03 Oktober 2017

Mabrur Sebelum Berhaji (dari majalah Hidayatullah)

Mabrur Sebelum Berhaji (dari majalah Hidayatullah)

Seorang Asep Sudrajat (61 tahun) bersama Asih, istrinya mewakili seorang yang mabrur sebelum berhaji, insya Allah. Hampir selama 20 tahun mereka menabung demi mewujudkan cita-cita mulia. Memenuhi panggilan Allah menuju tanah suci Mekah Al Mukarramah. Niat yang kuat dibuktikan dengan usaha sungguh-sungguh. Mengumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil warung kecil mereka yang seadanya.

Rp 50,830,000 terkumpul sudah. Hampir mencukupi untuk ongkos haji yang 27 juta rupiah per orang, ketika itu. Hanya perlu menambah sedikit agar benar-benar pas. Menabung satu tahun lagi barangkali tercukupi.

Niat sudah lengkap. Tekad sudah bulat. Mereka akan segera mendaftar di hari-hari depan. Hari-hari berikutnya mereka semakin giat berdagang. Menyisahkan hasil meski kecil. Hingga suatu pagi mereka mendengar kabar bahwa Kang Endi, kawan karibnya sesama jamaah masjid Ash-Shabirin, mendadak sakit. Ia dirawat di RS Hasan Sadikin, Bandung. Asep pun segera menjenguknya.

Kang Endi dirawat di ruang ICU. Tumor ganas menyerang dan menjalar. Begitu diagnosis dokter. Bergidik Asep mendengarnya. Ia besarkan hati sahabatnya untuk sabar, tawakal dan berdoa.

Hari kedelapan Kang Endi dipindahkan ke ruang kelas 3. Kamar yang gelap, pengap, berbau tak sedap dan cukup berantakan.

Hari kesebelas, saat Asep di sana, seorang perawat membawa surat. Tawaran untuk operasi tumor ganas. Biayanya hampir 50 juta rupiah. Dengan ekonomi yang sangat terbatas, keluarga Kang Endi hanya bisa gigit jari. Kondisinya semakin parah. Badannya semakin kurus dan lemah. Sorot matanya redup dan tak bisa bicara. Terkulai tak berdaya. Di pinggir ranjang. Asep sahabatnya mengambil keputusan besar. Berpamitan pulang.

Sesampai di rumah, Asep menyampaikan keputusannya kepada Asih, sang istri. “Bu, kondisi Kang Endi semakin memburuk. Bapak tidak sanggup melihat penderitaannya,“ papar Asep sambil bercerita lirih solusi yang ditawarkan pihak rumah sakit.

“Kasihan mereka ya Pak! Kita bisa bantu apa?” tanya Asih, iba. Trenyuh. “Kalau ibu berkenan, bagaimana bila dana tabungan haji kita diberikan saja kepada mereka semua untuk biaya operasi?” Asep menawarkan. Asih sempat kaget. “Diberikan? Waduh Pak, hampir 20 tahun kita menabung. Masak cita-cita ini pupus seketika dengan membantu orang lain?” tutur Asih memelas.

“Bu, banyak orang yang berhaji tapi belum tentu mabrur di sisi Allah. Mungkin ini jalan buat kita untuk meraih keridhaan Allah. Bapak yakin, bila kita menolong saudara kita, Insya Allah, kita pun akan ditolong Allah,” nasihat Asep.

Kalimat demi kalimat dari lidah suami yang penuh wibawa itu menyirami relung hati Asih. Istri shalihah itu pun akhirnya mengangguk setuju. Esok paginya, Asep dan Asih datang ke rumah sakit. Mengajak bicara istri Kang Endi sekaligus menyerahkan uang tersebut.

Istri Kang Endi tersentak, menangis, dan tak bisa berkata apa-apa. Suasana haru menyelimuti mereka. Uang itu dibawa ke bagian administrasi. Formulir diisi. Besok paginya jam 08.00 operasi tumor pun dijalani. Alhamdulillah.

Esoknya, sebelum operasi, dokter spesialis tulang yang selama ini menangani Kang Endi sempat berbincang dengan pihak keluarga. “Doakan ya agar operasi berjalan lancar! Oh ya, kalau boleh tahu, dari mana dana operasi ini?” tanya dokter yang tahu persis kondisi ekonomi keluarga Kang Endi.

“Alhamdulillah. Ada seorang tetangga kami yang membantu Dok. Namanya Pak Asep,” jawab istri Kang Endi.

“Memangnya, beliau usaha apa? Kok mau membantu dana hingga sebesar itu?” Di benak sang dokter, pastilah Asep seorang pengusaha sukses.

“Dia cuma usaha warung kecil saja kok di dekat rumah kami. Saya sendiri nggak percaya waktu dia dan istrinya memberikan bantuan sebesar itu,” tambahnya.

Alhamdulillah. Akhirnya operasi berjalan lancar. Seluruh keluarga, dokter dan perawat merasa gembira. Kang Endi tinggal menjalani masa penyembuhan pasca operasi. Selama itu, Pak Asep masih sering menjenguknya.

Suatu hari Asep dan sang dokter yang sedang memeriksa Kang Endi pun berkenalan. Dokter memuji kemurahan hati Pak Asep. Pak Asep hanya mampu mengembalikan pujian itu kepada Allah. Dokter itu kemudian meminta alamat Asep.

Beberapa pekan berlalu, Kang Endi sudah pulang dari rumah sakit. Malam itu, Asep dan Asih tengah berada di rumahnya. Warung mereka belum lagi tutup. Tiba-tiba sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan pagar rumah mereka. Namun Asep dan Asih tak bisa mengenali mereka. Begitu mendekat, tahulah Asep pria yang datang adalah dokter yang merawat Kang Endi. Ia datang bersama istrinya.

Asep kikuk saat menerima mereka. Seumur hidup belum pernah menerima ‘tamu besar’ seperti malam itu. Mereka pun dipersilahkan masuk. Diberi sajian ala kadarnya. Mereka terlibat pembicaraan hangat. Asep pun menanyakan maksud kedatangan mereka. Dokter mengungkapkan niat mereka bersilaturrahim seraya menyatakan keharuannya terhadap pengorbanan Asep dan istrinya. “Kami ingin belajar ikhlas seperti Pak Asep dan Ibu,” ungkap sang dokter penuh perasaan. Asep mengelak. Merendah.

“Pak Asep dan Ibu, saya dan istri berniat menunaikan haji tahun depan. Saya mohon doa Bapak dan Ibu agar perjalanan kami dimudahkan oleh Allah Ta’ala. Saya yakin doa orang-orang shalih seperti Bapak dan Ibu akan dikabulkan Allah,” lanjut sang dokter. Berkali-kali Asep dan Asih mengaminkan, walau ada sedikit rasa sedih dan getir. Sebab tahun depan mereka juga seharusnya bisa berangkat ibadah haji.

“Tapi, supaya doa Bapak dan Ibu semakin dikabulkan oleh Allah, bagaimana jika Bapak dan Ibu berdoanya di tempat-tempat yang mustajab?” papar sang dokter sambil menatap Asep dalam-dalam.

Asep sempat bingung, tapi ia beranikan diri untuk bertanya. ”Maksud Pak Dokter?”

“Maksud kami, izinkan saya dan istri mengajak Bapak dan Ibu untuk berhaji bersama kami dan berdoa di sana sehingga Allah mengabulkan doa kita semua,” tutur sang dokter penuh suka cita.

Asep dan Asih tiba-tiba diam. Saling berpandangan. Hening. Tak ada jawaban dari Asep dan Asih. Hanya ada derai air mata Asep dalam pelukan erat sang dokter, dan uraian tangis haru Asih dalam pelukan istri sang dokter. Dan, di ujung malam itu, tangis Asep dan Asih semakin meledak dalam sujud-sujud yang teramat syahdu dan dalam pijar-pijar syukur yang menyala indah.

***

Subhanallah wa Alhamdulillah. Tiada kata yang bisa mewakili kecuali hanya kepada keagungan Allah kita memasrahkan diri.

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, nisacaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” ( Q. S. Muhammad : 7).

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “ Barang siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mukmin dari berbagai kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan berbagai kesulitannya pada hari kiamat. Dan barang siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat” (HR. Muslim). Wallahu’alam bishshawab…

(Kisah nyata dikutip dari majalah Hidayatullah edisi Desember 2007)