Sabtu, 08 Oktober 2016

Kucing

Kucing   

Kucing selalu ramai di komplek ini. Umumnya kucing tak bertuan, bukan kucing peliharaan. Meski ada seorang ibu di sini yang agak istimewa, menampung banyak sekali kucing-kucing kampung itu di rumahnya. Tapi selain si ibu yang istimewa itu, banyak juga warga lain yang memberi perhatian dengan memberi makan kucing-kucing lepas itu. Termasuk kami. Maka tidak aneh, di komplek kami ini berkeliaran banyak sekali kucing.

Di keluargaku, yang paling sayang dengan kucing adalah si Bungsu. Pernah ketika kami baru saja pindah ke Jatibening ini di tahun 1990an, seekor kucing kecil yang dia akui sebagi kucingnya mati tertabrak motor. Dia menangis histeris waktu itu. Kami (aku dan istri) bersusah payah membujuknya, mengingatkan bahwa kucing mati itu adalah ketetapan Allah.  

 

Suatu ketika dulu, sekitar sepuluh tahun yang lalu atau mungkin lebih, jumlah kucing yang datang minta makan ke rumah kami sampai lebih sepuluh ekor. Mulai dengan seekor induk yang beranak dan membawa anaknya dan kemudian di antara anak-anaknya itu ada yang beranak pula. Kucing-kucing itu boleh berkeliaran di pekarangan tapi tidak boleh masuk rumah. Aku sengaja membuat aturan seperti itu untuk menghindari bau pesing kotoran kucing dalam rumah. Dan alhamdulillah aturan itu dipatuhi. Kucing yang sudah sangat banyak itu akhirnya satu persatu meninggalkan kami. Yang paling duluan pergi adalah kucing-kucing jantan. Sangat menyedihkan lagi ketika seekor induk dan dua ekor anaknya mati di teras rumah kami, yang kelihatannya akibat termakan racun tikus. 

Lama sesudah itu kami tidak menjamu kucing-kucing. 

Sekitar lima tahun yang lalu, ada seekor induk kucing mati tertabrak mobil di persimpangan jalan menuju mesjid. Aku melihat bangkai kucing itu terkapar waktu akan ke mesjid shalat subuh. Yang mengenaskan, induk kucing itu punya empat ekor anak yang masih kecil-kecil. Aku bercerita tentang kucing dan anak-anak kucing malang itu di rumah. Si Bungsu kebetulan sedang di rumah (dia tinggal di Bandung waktu itu). Langsung saja dia pergi menjemput dan mengamankan keempat anak kucing tadi. Namun malang sekali dua ekor kembali tergilas mobil dalam dua hari berurutan. Si Bungsu kesal dan sedih. Dua anak kucing kecil yang tinggal dipeliharanya hati-hati. Dibawanya ke Bandung kalau dia sedang di Bandung dan dibawanya kembali pulang kalau dia pulang. Malang lagi, satu dari kedua ekor kucing yang sudah mulai besar itu dicuri orang di Bandung. Tinggal satu ekor. Dia adalah yang di foto paling atas. 

Di tempat kerja si Bungsu, tiba-tiba datang seekor kucing betina yang sok akrab. Begitu katanya. Tentu saja langsung benar-benar diakrabinya. Kucing itu diberi makan dan dibiarkan berkeliaran di dalam kantor. Bahkan pernah menjatuhkan laptop sehingga rusak. Hal itu tidak jadi halangan bagi si Bungsu untuk tetap menyayangi si kucing kantor yang dinamainya Kuka. Suatu hari si Kuka ini keracunan, jadi lemes, lesu dan tidak mau makan. Dibawa ke dokter hewan dan diobati. Lalu dibawa pulang ke rumah. Alhamdulillah dia kembali sehat. Dan sejak itu resmi jadi kucing di rumah kami.  

Suatu hari beberapa minggu yang lalu, aku baru keluar rumah mau shalat zuhur ke mesjid. Ada lima orang anak SD, satu di antaranya menjinjing kantong plastik lalu membuangnya ke tong sampah tetangga di depan rumah. Aku bertanya, apa isi plastik itu. Kata anak-anak itu kucing habis kena tabrak mobil. Kok ditarok di sana, aku bertanya. Disuruh, jawab mereka sebelum mereka cepat-cepat berlalu. Pulang dari mesjid aku datangi tong sampah itu dan kulihat kucing itu ternyata pindah dan duduk di pinggir tong sampah. Kucing itu terlihat duduk diam. Sebelah matanya keluar. Kucing itu pasti sangat kesakitan. Aku ambilkan makanan kucing dan kutarok di depannya. Hanya itu yang dapat kulakukan.

Besoknya dan bahkan dua hari kemudian kucing itu masih dalam posisi duduk seperti sebelumnya di tempat yang sama. Makanan di depannya sepertinya tidak dimakannya. Hari ketiga itu si Bungsu yang baru pulang dari mengunjungi kakaknya di Pau melihatnya, mengira bahwa itu adalah si Kuka. Aku jelaskan bahwa itu adalah kucing lain. Si Bungsu segera melarikannya lagi ke dokter hewan. Kucing itu harus diopname (nah lho!). Dia bayar biaya perawatan dan dipesan seandainya dia sembuh agar di lepas saja, karena itu bukan kucingnya. 

Seminggu kemudian dia dihubungi dokter hewan meminta agar kucing malang itu diambil kembali. Si Bungsu datang ke sana. Ternyata kucing itu buta total. Kepada si Bungsu diminta biaya perawatan selama seminggu yang jumlahnya cukup aduhai. Setelah negosisi berat harga yang harus dibayar dikurangi sang dokter meski masih saja lumayan besar. Kucing malang itu dibawa pulang. Dirawatnya dengan menyuapi makan dua kali sehari. Aku dan ibunya mengatakan bahwa binatang yang kesakitan seperti itu lebih baik dimatikan saja. Jika itu ayam misalnya, kita potong saja. Si Bungsu menolak usulan itu.... 

****                     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar