Jumat, 29 Desember 2017

Hamizan Dan Fathimah Pulang Kampung (4)

Hamizan Dan Fathimah Pulang Kampung (4)  

Acara pulang kampung tidak akan pernah terpisah dengan acara makan lamak. Orang sekarang menyebutnya wisata kuliner. Makan di rumah makan di Ranah Minang memang sangat berbeda tingkat lamak (enak)nya dengan di restoran Padang di luar. Ada dua rumah makan favoritku di antara bandara Minangkabau dan Bukit Tinggi. RM Lamun Ombak yang hanya sekitar sepuluh menit dari bandara dan yang satunya lagi RM Ayie Badarun, 6 kilometer di luar kota Padangpanjang arah ke Bukit Tinggi. Yang pertama dikunjungi kalau kami mendarat menjelang jam makan. Yang kedua, jika waktu agak santai, karena untuk mencapainya perlu waktu sekitar satu setengah jam dari bandara.  

Lamun Ombak sudah dikunjungi di hari pertama kami datang. Sekarang giliran Ayie Badarun pula. 


Kami sarapan di hotel hari Selasa pagi. Hari ini kami akan ke danau Singkarak dan diteruskan dengan mengunjungi kampung Hamizan di Simawang. Sebelum ke Ombilin di pinggir danau Singkarak kami mampir di RM Ayie Badarun. Sang menantu bercerita bahwa dia diingatkan teman sekantornya agar tidak lupa singgah ke rumah makan ini. Jadi acara yang kami buat ternyata sangat cocok. Apa istimewanya rumah makan yang satu ini? Mereka menjuluki rumah makannya dengan spesifikasi masakan rumahan. Dan memang itulah kelebihannya. Ada sambalado cangkuak dengan kerecek, ada pepes (asam padeh) telor ikan, asam padeh ikan mas,  yang tidak kita temukan di rumah makan lain. Maka kamipun makan batambuah-tambuah.....



Setelah makan barulah dilanjutkan perjalanan ke Ombilin di pinggir danau Singkarak. Di sini kami menyewa perahu motor untuk mengharungi danau. Acara yang semakin populer di sini. Beberapa tahun yang lalu ada rombongan saudara dari Jeddah yang kami bawa naik perahu ini. Sebagai balasannya, waktu kami pergi umrah berombongan di tahun 2012, kami dibawa mengharungi Laut Merah di sekitar Jeddah dengan perahu bermotor yang jauh lebih canggih.  


Ada yang menitip minta dibelikan ikan bilih Singkarak. Sayang sekali bahwa ikan bilih itu sudah sangat langka kalaupun tidak untuk dikatakan hampir punah. Karena tidak ada aturan dalam menangkapnya dan masyarakat menangkap semau-maunya. Aku berkomentar kepada seseorang di dekat dermaga perahu motor itu, kenapa pemerintah tidak membuat aturan larangan dalam penangkapan ikan bilis. Maksudnya, diadakan pembatasan atau larangan penangkapan pada bulan-bulan tertentu. Jawab orang itu, susah pak. Kalau kami dilarang menangkapnya, dengan apa kami beli beras. Mungkin benar, tapi ketika ikan itu (hampir) punah seperti sekarang, lalu dengan apa mereka membeli beras? 



Sesudah berperahu-perahu kami lanjutkan perjalanan menuju kampung Simawang. Kampung asal istriku menurut aturan urang Minang. Yang sayang tidak dikenalnya pasti di mana tumpak rumah nenek moyangnya itu, karena ibunya (mertua perempuanku) tidak pernah tinggal di kampung itu. Hanya mereknya saja mereka berasal dari Simawang. Kami (aku dan istri) pernah mencoba mengunjungi kampung ini dua tahun yang lalu, masuk dari Ombilin, tapi tidak berhasil karena jalan yang kami tempuh terlalu kecil, mendaki cukup terjal. Kali ini kami ditemani adik istriku dan kami masuk dari arah berbeda. Dan alhamdulillah berhasil. Kami lalui jalan nagari sampai ke kantor wali nagari Simawang. Tapi dimana tumpak perumahan nenek buyut Izan? Adik iparku pun tidak tahu pasti. Dan kami tidak perlu pula nyinyir bertanya-tanya. Cukuplah bahwa kami sudah singgah di nagari Simawang.


****                               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar