Minggu, 11 Desember 2016

Ketika Allah Menggerakkan Hati

Ketika Allah Menggerakkan Hati     

Peristiwa berkumpulnya umat Islam untuk shalat Jum'at di Monas pada tanggal 2 Desember 2016 yang lalu adalah sebuah kejadian sangat luar biasa. Mungkin tidak ada yang membayangkan sebelumnya bahwa akan hadir sedemikian banyak umat manusia pada hari itu. Aku betul-betul terkesima menyaksikan foto-foto yang menunjukkan kumpulan entah berapa banyak manusia (Allah semata yang tahu berapa sebenarnya jumlah mereka), yang bukan hanya memenuhi lapangan Monas tapi melimpah ruah sampai ke bundaran di depan Hotel Indonesia, terus sampai ke arah jalan Diponegoro. Bahkan ada seorang sahabat yang mengatakan dia tidak bisa maju lagi dari Semanggi menuju Monas karena jalan dipadati manusia, di pagi hari Jum'at itu. Subhanallah. Padahal ini adalah kedatangan yang benar-benar spontanitas. Tidak ada organisasi, tidak ada partai, tidak juga perkumpulan yang menggerakkan. Yang menggerakkan hati begitu banyak umat Islam hadir di hari itu benar-benar hanya Allah. 

Mereka datang tidak hanya dari Jakarta dan sekitarnya, tapi dari tempat-tempat yang sangat jauh di Sumatera, di Kalimantan, di Sulawesi, di Maluku, di Nusa Tenggara. Beribu-ribu banyaknya. Yang sangat fenomenal adalah mereka yang datang berjalan kaki dari Ciamis, lebih dari 200 km dari Jakarta, karena penguasa melarang perusahaan angkutan membawa mereka ke Jakarta, meski konon akhirnya mengijinkan juga, tapi sudah tidak diterima oleh para jamaah yang bersemangat itu. Allah semata yang memelihara mereka selama dalam perjalanan yang luar biasa itu. 

Beberapa hari sebelumnya, aku terlibat dalam sedikit diskusi dengan salah seorang anakku yang kritis, ketika dia melihat gelagat bahwa aku akan hadir pula ke Monas. Dia awali hujjahnya dengan mengatakan bahwa tidak ada sunah Rasulullah  mengerjakan shalat Jum'at di lapangan. Tidak ada sunah Rasulullah untuk melakukan demo kepada penguasa. Aku tidak mau meladeni hujjah tersebut. Aku hanya mengatakan bahwa aku ikut dalam barisan yang menegakkan amar ma'ruf dan nahi munkar. Dengan mereka yang menuntut ditegakkannya keadilan dan dicegahnya kesewenang-wenangan untuk tidak berlaku adil.  Dan diskusi tidak diperpanjang lagi.

Hari Kamis siang aku diingatkan pengurus mesjid bahwa aku adalah khatib cadangan hari Jum'at besok, dan sepertinya harus menggantikan khatib yang pasti akan berhalangan. Masih aku tanyakan, kemana khatib yang sudah dijadwal? Jawabnya, beliau besok memimpin jamaahnya ke Monas. Lalu aku katakan, kalau begitu, mohon dicarikan khatib cadangan lain, sebab saya besok juga akan ikut ke Monas in sya Allah, kataku.  Beliau kaget dan bertanya, dengan siapa anda akan pergi besok. Dan aku jawab bahwa aku sudah mendaftarkan diri kepada seorang anak muda yang mengkoordinir dari jamaah mesjid kami. 

Dan itulah yang terjadi. Kami bersepuluh orang, berangkat dengan dua buah mobil, jam setengah tujuh pagi dari Jatibening. Kami menempuh jalan tol Cikampek menuju Jakarta, terus di toll kota menuju Tanjung Periuk dan keluar di Cempaka Putih. Kecuali sedikit macet di pintu toll kota, perjalanan sampai ke Cempaka Putih relatif lancar. Tapi begitu keluar toll, kendaraan mulai merayap. Lalu lintas padat luar biasa dengan banyak sekali bus-bus besar dengan penumpang jamaah berbaju putih di dalamnya. Mendekati persimpangan ke Kemayoran, sudah hampir dua jam kami berada di jalan ini, kendaraan hampir-hampir tidak bisa lagi bergerak. Kami diarahkan untuk berbelok ke arah Kemayoran oleh petugas lalu lintas partikelir. Kami ikuti arahan itu dan mencari tempat memarkir mobil dekat sebuah mesjid. Setelah itu kami berjalan kaki menuju Monas, melalui jalan ke arah Senen, terus ke Lapangan Banteng, Gambir dan akhirnya sampai di luar pagar lapangan Monas, sejauh sekitar 4 - 5 kilometer. Di sana sudah berkumpul banyak sekali umat, duduk di jalan. Dan kami akhirnya ikut duduk di sana.  

Di sana kami duduk menanti masuknya waktu. Kemudian terdengar suara azan sangat lamat-lamat. Lalu azan kedua, begitu juga. Seterusnya terdengar suara khotbah dalam gumaman seperti setengah berbisik. Tidak jelas sama sekali isi khotbahnya. Dan akhirnya terdengar iqamah. Dan kamipun berdiri untuk shalat. Di bawah guyuran hujan. Lamat-lamat terdengar suara imam, ketika dia membaca akhir alfatihah, lalu kami ikut mengamiinkan.  Dan imam membaca qunut nazilah di i'tidal rakaa'at kedua. Sebuah doa yang panjang, yang meski juga tidak terdengar. 

Kalau ada yang mengatakan shalat Jum'at kami pada waktu itu ada kekurangannya, seperti tidak terdengarnya khutbah, tidak jelasnya bacaan imam, biar sajalah. Mudah-mudahan Allah menerimanya juga. Kebersamaan kami ini.

Sampai berjalan lagi ke tempat mobil kami diparkir, dan kembali pulang ke Jatibening, aku tidak bisa membayangkan berapa banyak sebenarnya umat yang hadir siang itu. Sampai sekarangpun aku tidak bisa mengetahui berapa jumlah sebenarnya. Ada yang mengatakan sampai 7 juta orang. Yang moderat mengatakan antara 3 sampai 4 juta orang. Inipun masih jumlah yang luar biasa. Dan tidak ada huru-hara. Semua berjalan tertib dan damai. Siapakah yang mengatur dan menggerakkannya kalau bukan Allah? Mudah-mudahan kita benar-benar mengambil pelajaran tentang ke Maha Perkasaan Allah dengan peristiwa 2 Desember ini. Mudah-mudahan mereka-mereka yang mencoba menggembosi acara ini sebelum berlangsungnya juga mengambil pelajaran darinya. 

****                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar