Minggu, 26 Februari 2017

Pedagang Kerisik

Pedagang Kerisik 

Cemooh maksudnya adalah ungkapan kata-kata untuk melecehkan. Melecehkan seseorang atau sekelompok orang yang dinilai tidak proporsional antara keberadaannya dengan prilakunya. Agak sulit juga kan? 

Dalam bahasa Minang disebut cemeeh dan di kampungku disebut cimee dengan huruf e keras pakai apostrof. Cemooh atau cemeeh atau cimee bisa saja ditimpakan kepada siapa saja. Orang yang sangat suka mencemooh disebut pancimee. Kadang-kadang cemeehan itu memakai perumpamaan. Misalnya saja seseorang di cemooh dengan mengatakan; 'galeh kurisiak, maangkekno baupahaan pulo'.  Dagangan hanya kerisik, mengangkatnya mengupah orang pula.

Kerisik adalah daun pisang yang sudah kering. Di jaman pra plastik, penggunaan kerisik sebagai pembungkus sangat dominan. Banyak barang belanjaan di pasar yang biasa dan dapat dibungkus dengan kerisik. Si pedagang kerisik berdagang tanpa modal. Dia membersihkan pohon-pohon pisang di kebun orang dengan mengambil daun pisang yang sudah tua berwarna coklat. Kerisik tadi itu. Si pemilik kebun merasa tertolong ketika daun-daun tua itu dibuang dari pohon pisangnya. Tidaklah si pengumpul kerisik perlu membayar pula ketika dia mengambil daun-daun tua itu. 

Kerisik-kerisik itu lalu disusun dan dilipat untuk dijual ke pasar. Ketika si pengumpul atau si penjual kerisik mengupah orang untuk mengangkat tumpukan kerisiknya, terlihat janggal bagi orang banyak. Barang dagangan tanpa modal dan harga jualnya juga tidak akan menghasilkan banyak uang, dan sangat ringan itu kenapa mesti mengupah orang pula mengangkatnya. 

Perumpamaan  seperti penjual kerisik ini biasanya ditujukan kepada orang yang boros dalam hidupnya. Yang besar pasak dari tiang. Yang penghasilan terbatas tapi banyak belanja. Mereka ini dicemooh. 

Ada yang menilai perbelanjaan negara Indonesia untuk memilih pemimpin sejak dari tingkat kabupaten sampai tingkat negara sebagai pekerjaan yang terlalu mahal biayanya. Bertriliun-triliun rupiah dana yang diperlukan untuk pilkada sampai pilpres. Sementara negara kita ini masih sangat kurang jelas sumber penghasilannya. Biaya pemilihan bupati saja bisa menelan biaya bermilyar-milyar. Sementara ada hampir seratusan kabupaten dan kota di seluruh wilayah Indonesia. Tinggal dihitung berapa biaya total yang diperlukan untuk pilkada-pilkada itu. Dan ternyata keberhasilan penyelengaraan kabupaten yang pemilihan bupatinya berbiaya mahal itu tidak pula maksimal. Ada di antara bupati-bupati itu terpaksa berurusan dengan hukum. 

Saya hanya tercenung memikirkan. Apakah pelaksanaan demokrasi di negeri kita saat ini ada mirip-miripnya dengan pedagang kerisik yang mengupah orang mengangkat dagangannya? 

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar