Kamis, 23 Juni 2016

Tadarus (2)

Tadarus  (2)   

Kegiatan rutin kami di bulan Ramadhan, yang terpelihara sejak aku jadi penduduk komplek ini lebih dua puluh tahun yang lalu adalah melakukan tadarus al Quran setiap selesai shalat tarawih. Cukup satu juz setiap malam yang kami baca bergantian, kecuali di sepuluh malam terakhir pada saat mana sebagian dari kami tinggal di mesjid sampai waktu sahur. 

Yang ingin aku ceritakan kali ini bukan tertib bertadarus itu.

Sejak belasan tahun yang lalu, peserta tadarus boleh dikatakan itu-itu saja, minus tentu saja beliau-beliau yang sudah mendahului kami, dipanggil Allah. Agak memprihatinkan bagiku, bahwa kemampuan membaca al Quran beliau-beliau ini boleh dikatakan tidak mengalami perubahan. Ternyata memang sangat sulit merubah kebiasaan lidah yang kelu di hari ketika umur sudah lanjut. Kemampuan membaca al Quran itu masih begitu-begitu saja dari tahun ke tahun. Terbalik-balik dalam melafazkan huruf yang satu ke huruf yang lain, berbaur panjang dengan pendek dan sebagainya. Bagi sebagian besar peserta tadarus, kondisi itu hampir tidak mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Apakah karena beliau mengaji di bulan puasa saja? Tidak juga. Untuk memperbaiki kelancaran kaji, kami adakan pula tadarusan sekali seminggu di luar bulan Ramadhan. Pesertanya lebih sedikit. Dicoba meluruskan bacaan-bacaan yang keliru itu. Tapi ternyata, sekali lagi tidak mudah. 

Ada sebuah perkecualian. Salah seorang jamaah (beliau sudah almarhum) belajar mengaji sejak dari menggunakan kitab Iqra' yang digunakan kanak-kanak. Beliau yang satu ini memang luar biasa. Dari membaca terbata-bata, sampai akhirnya mampu membaca al Quran, bahkan dengan tajuwij yang lauh lebih baik. Karena kepada beliau diperkenalkan huruf-huruf hijaiyah itu dengan benar sejak dari awal. Ibaratnya, beliau belajar mengukir dari nol, sehingga hasilnya jauh lebih bersih. Berbeda dengan bapak-bapak yang lain, yang sudah mempunyai polanya sendiri, yang ternyata lemah. Susah memperbaikinya.  

Aku ingat bagaimana kami belajar mengaji ketika kanak-kanak dulu. Guru mengaji kami sangat telaten mengajarkan cara membaca yang benar. Beliau bahkan terkesan keras. Setiap huruf hijaiyah itu harus dibaca dengan jelas. Harus dibedakan antara yang satu dengan yang lain, meskipun perbedaannya seolah-olah sangat tipis. Memang di sanalah kuncinya. Harus dibedakan antara ta denga tha. Antara dal dengan dhad. Antara dzal, zai dan zha. Antara qaf dengan kaf. Antara sin dengan syim dan shad. Lalu keharusan mengenali tanda-tanda bacaan. Membedakan yang harus dipanjangkan dengan yang pendek. Yang harus berdengung. Semua itu ada istilahnya. Oleh guru mengaji kami dulu istilah-istilah itu tidak diajarkan, tapi yang diajarkan adalah bagaimana membacanya dengan benar.  

Bagaimanapun, alhamdulillah karena kebiasaan bertadarus di mesjid komplek kami masih dapat terpelihara. Biarlah dengan bacaan yang tidak terlalu sempurna. Mudah-mudahan Allah tetap memberikan imbalan pahala. Aamiin. 

****                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar