Minggu, 12 Februari 2017

Tidak Punya Bakat Berbisnis

Tidak Punya Bakat Berbisnis    

Ada di antara teman-teman yang sudah pensiun mempunyai usaha untuk hari tua, yang disiapkan sejak lama, sebelum pensiun. Ada yang punya rumah kos-kosan, ada yang punya toko di mall-mall, yang memiliki beberapa buah taksi dan sebagainya. Cerita lanjutannya bermacam-macam. Ada yang berhasil dan ada yang gagal. Tergantung dari keberuntungan masing-masing yang diberikan Allah. 

Ada yang beruntung dalam menjalankan usaha. Bahkan ada yang mendapat menghasilkan uang lebih banyak dari waktu dia dulu jadi karyawan. Seorang teman membeli tanah pertanian di sebuah kampung di kaki pegunungan yang relatif sunyi. Dibangunnya pondok-pondok kecil ketika dia masih aktif bekerja. Dibuatnya kolam-kolam ikan. Kebetulan di tempat itu air gunung melimpah. Waktu dia pensiun dia pindah ke tempat itu dan memulai usaha dengan kolam-kolam ikan dan berkebun kecil-kecilan. Usaha itu maju pesat luar biasa.

Namun ada pula yang gagal total. Seorang teman pernah dengan sangat bersemangat membuka usaha dagang dengan uang pensiun. Sebelum mulai dia begitu yakin bahwa dia itu sebenarnya sangat berbakat dagang karena orang tuanya dulu adalah pedagang. Disewanya toko untuk jangka waktu cukup panjang, lima tahun dan dimulainyalah usaha dagang tersebut. Namun apa yang terjadi? Di tahun ketiga usahanya kolaps.   

Aku sendiri tidak berbakat dan tidak punya intuisi untuk berbisnis. Pernah juga ikut-ikutan mencoba menanamkan uang dengan membeli sepetak toko di sebuah mall. Tentu saja sesudah diceramahi oleh rekan yang sudah lebih dahulu mengerjakannya. Karena di atas kertas segala sesuatunya tampak seperti nyata bahwa investasi ini 'pasti' untung. Beli, kemudian disewakan, sewanya sekian-sekian pertahun dan seterusnya, panen tiap tahun. Indah sekali. Ternyata kenyataan tidak seindah angan-angan. Toko itu disewa seorang pedagang pemula selama satu tahun. Dia gagal dan tempat berjualan itu dikembalikannya. Beberapa lama menganggur sementara biaya service charge jalan terus. Akhirnya istriku mencoba berjualan di sana. Tidak sampai setahun, diapun menyerah. Diiklankan lagi bahwa toko tersebut dikontrakkan dengan harga lebih murah. Disewa orang setahun dua tahun, tapi setelah itu kosong lagi. Padahal itu di sebuah pusat perbelanjaan. 

Waktu masih bekerja dulu kami diberi kesempatan untuk membeli saham perusahaan di  kantor pusatnya di Paris, dengan harga diskon. Pembayarannya dicicil dari pemotongan gaji. Menurut peraturan saham itu belum boleh dicairkan sebelum cicilannya lunas. Setelah cicilan lunas ada rekan sekantor yang mencairkannya untuk berbagai keperluan. Aku membiarkannya saja dengan niat akan digunakan kalau benar-benar perlu di saat pensiun nanti.  Menjelang pensiun di tahun 2007 harga satu lembar saham itu 66 euro dan 1 euro waktu itu senilai 1.40 dollar lebih, atau setara dengan 16,500 rupiah. Ada yang berbisik waktu itu agar saham itu dicairkan dan dibelikan emas, yang harganya ketika itu lebih kurang 120,000 per gram. Aku sama sekali tidak tertarik.

Aku sama sasekali tidak punya feeling bahwa harga-harga itu akan berubah drastis. Lagi pula aku sudah meniatkan akan membiarkannya saja untuk keadaan 'darurat'. Ternyata kemudian, harga saham tersebut turun dan tidak pernah mencapai harga itu lagi. Di saat paling buruknya harganya pernah tinggal separuhnya. Sekarang harganya sekitar 45 - 47 euro. 1 euro = 1.08 dollar atau = 14,000 rupiah. Sementara harga emas 500,000 rupiah per gram. 

Pada suatu kesempatan lain ada seorang tetangga menawarkan rumahnya karena dia ingin pindah dan tinggal bersama anaknya di tempat lain. Istriku yang dihubungi tetangga itu (seorang janda) menanyakan kepadaku bagaimana kalau kita beli saja rumahnya. Jawabku waktu itu, untuk apa lagi rumah sementara kita sudah punya rumah. Tidak ada terbayang di otakku bahwa pembelian itu bisa berupa sebuah investasi. Dan kami tidak membelinya. Rumah itu akhirnya dibeli tetangga lain. Sekarang, sepuluh tahun kemudian, harganya sudah empat kali lipat.   

Menyesal? Tidak juga. Aku hanya menyadari bahwa aku sangat tidak berbakat dalam urusan bisnis.

****        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar