Minggu, 29 November 2015

Menyusuri Kelok 44

Menyusuri Kelok 44 

Perjalanan kemarin itu adalah untuk lebih memperkenalkan sebagian dari keindahan alam Minangkabau kepada si Bungsu. Sudah cukup lama dia tidak pulang kampung. Terakhir sekali tahun 2000 yang lalu, waktu itu kami juga berkendaraan darat, sehubungan dengan pernikahan seorang kemenakan di kampung. Saking sudah lamanya, si Bungsu tidak begitu ingat tempat apa saja yang kami kunjungi ketika itu.  

Hari Ahad tanggal 15 November kami berangkat dari rumah di kampung jam sepuluh pagi. Tujuan pertama adalah Puncak Lawang. Udara pagi itu cerah. Perjalanan melalui Bukit Tinggi terus ke Padang Lua dan berbelok ke kanan ke arah Ampek Koto lancar-lancar saja. Kami lalui Matua dan berbelok ke kanan ke arah Lawang. Mendaki menuju ke puncaknya. Sebelum memasuki area Puncak Lawang kami dihentikan petugas (ada beberapa orang, berpakaian preman) untuk membayar biaya masuk. Diantara yang harus dibayar adalah biaya parkir. Tapi tidak ada karcis. Aku menanyakan apakah nanti di atas aku akan harus membayar ongkos parkir lagi dan dijawabnya tidak. 

Banyak pengunjung saat itu. Ada rombongan pengendara sepeda motor bernomor polisi BM sekitar dua puluhan motor. Tempat parkir dipenuhi oleh banyak mobil dan motor. Ada yang mengatur parkir di sini. Setelah memarkir mobil di jalan keluar, kami segera naik ke puncak melalui tangga. Pemandangan cukup cerah. Di bawah terlihat hamparan danau Maninjau. Walau sudah berkali-kali mengunjungi tempat ini, tetap saja hati berdecak kagum memandang keindahan ciptaan Allah. Si Bungsu terkesima melihat pemandangan ini. 

Setelah kira-kira setengah jam kami tinggalkan Puncak Lawang. Si petugas tadi benar, kami tidak dipungut lagi biaya parkir. Rupanya memang ada koordinasi petugas-petugas tidak berseragam ini. Hanya sayangnya, kenapa mereka tidak menyediakan karcis tanda masuk dan ongkos parkir.

Selanjutnya kami menuju Maninjau, melalui kelok ampek puluah ampek. Beberapa bulan yang lalu aku melintasi kelok ini dari bawah ke atas. Kali ini kebalikannya. Di setiap kelok patah, ketika ada kendaraan lain dari bawah, kita harus menunggu. Prioritas diberikan untuk kendaraan yang mendaki. Di beberapa buah tikungan masih ada cermin bulat untuk memantau kendaraan dari arah berlawanan. Dulu rasanya hampir di setiap tikungan tajam ada cermin seperti ini. Tapi banyak di antaranya dirusak tangan-tangan jahil.  Si Bungsu menikmati lintasan yang berkelok-kelok tajam ini dengan mata tak berkedip. Aku mengingatkan bahwa nanti di kelok nomor 15 an akan ada rombongan kera di pinggir jalan. Dan tentu saja benar.  

Kami sampai di Maninjau. Sempat mampir di sebuah kedai yang menjual aneka rinuak yang terkenal itu. Palai rinuak Maninjau. Lalu berhenti untuk shalat zuhur di mesjid Bayur. Sebuah mesjid besar, megah dan indah.  

Terus meluncur ke arah Lubuk Basung. Sayangnya sejak dari sini perjalanan ini harus melalui hujan lebat. Kami lalui Tiku dan terus ke Pariaman. Rencananya kami ingin makan siang (terlambat) di Pariaman di kedai nasi yang menyediakan gulai kepala ikan. Sempat berkomunikasi dengan beberapa orang teman menanyakan di mana kami dapat menemukan rumah makan yang khas dengan hidangan tersebut di Pariaman. Ada yang mengatakan di rumah makan Pauah dan ada pula yang mengatakan di kedai nasi di pinggir pantai. Walaupun tidak terlalu yakin bahwa di siang hari begini gulai itu masih ada.   

Rumah makan Pauah tidak kami temukan, meski sudah bertanya-tanya dan sedikit hilir mudik di Pariaman di bawah guyuran hujan. Hampir kami meninggalkan saja kota ini dalam keadaan perut lapar karena tidak sembarang kedai nasipun yang ditemui. Sampai akhirnya terdampar ke kedai nasi di pinggir pantai yang tadi direkomendasikan seorang teman. Aku lupa nama kedai ini, tapi satu-satunya yang berjualan nasi sek (sekepal nasi dibungkus daun pisang). Si Uniang pemiliknya mengatakan kepala ikan hanya tersedia sampai jam sepuluh pagi saja. Kami akhirnya makan dengan gulai ikan. Di saat kami sedang makan terdengar azan asar.

Dari Pariaman kami menuju pulang melalui Sicincin. Hujan gerimis masih turun. Beruntung bahwa lalulintas cukup lancar. Kami sampai di kampung Koto Tuo menjelang waktu isya.

****       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar