Jumat, 04 Desember 2015

Kampung Siapa?

Kampung Siapa? 

Ada sesuatu yang agak rumit bagi anak-anak pada awalnya ketika berbicara tentang kampung. Ketika kepada mereka dijelaskan bahwa Koto Tuo - Balai Gurah itu adalah 'kampung papa'. Mereka agak bingung mendengarnya.  'Berarti kampung kita juga, kan?' celetuk mereka. Lalu dijawab, bukan. Itu bukan kampung kalian, tapi itu adalah kampung / rumah bako kalian.  'Lho, kampung kita dimana?' tanya mereka lagi setengah tak percaya. Cerita atau obrolan berlanjut tentang sistim kekeluargaan matriakhat yang dipraktekkan oleh orang Minang. Kampung mereka (anak-anakku itu) adalah kampung mamanya, yang adalah kampung nenek (ibu dari mamanya). Sementara rumah saudara-saudara perempuan ayah disebut rumah bako.

'Di mana itu? Kok kita tidak pernah pergi ke sana?' desak mereka. 'Kampung asal kalian di Simawang, di tepi Danau Singkarak. Hanya masalahnya, nenekmu tidak pernah tinggal dan menetap di sana, meskipun saudara-saudara sepersukuannya masih ada di kampung itu. Sesuatu yang sekarang sangat lazim, di mana keturunan orang Minang lahir dan besar di rantau dan tidak mengenal kampung halamannya, tapi tidak begitu biasa beberapa puluh tahun yang lalu,' aku mencoba menjelaskan.

Si Bungsu penasaran dengan  keterangan ini. Dia sangat ingin melihat dan mengunjungi kampung asal neneknya. Kampungnya sendiri sebagai orang Minang. Dan kamipun pergi mengunjungi kampung itu. 

Batulimbak namanya di kanagarian Simawang. Melalui jalan mendaki cukup terjal dari Ombilin di pinggir danau Singkarak. Yang bahkan istriku sendiri sepertinya baru sekali itu mengunjunginya. Sayangnya kami tidak berhasil menemukan siapa-siapa, karena tidak mengetahui tempat yang jelas dari rumah pusaka (tapak perumahan) nenek mereka, meski sudah sempat berkonsultasi dengan seorang saudara yang tinggal di Jakarta melalui telepon. Mungkin usaha kami kurang maksimal, tidak bertanya kepada penduduk kampung itu. Dan kami tidak pula tahu apakah masih ada saudara sepersukuan yang masih tinggal di sana saat ini. 

Kampung yang ditinggalkan oleh warganya memang sangat lumrah. Di kampungku, dari tujuh buah rumah sepersukuan kami hampir keseluruhannya kosong. Hanya satu rumah yang ditempati oleh seorang saudara laki-laki. Kami mengupah seseorang untuk sekedar menjaga dan membersihkan, menyalakan dan mematikan lampu setiap harinya. Rumah ibuku tempat kami menginap selama kunjungan ini, sehari-hari terkunci. Kadang-kadang saja rumah itu kami datangi bergantian.   

Tentang kampung di Simawang itu, sementara ini kami baru berhasil melihat lokasinya secara umum, tapi belum berhasil menemukan tumpaknya secara jelas. Kata si Bungsu, biarlah sementara ini kita 'menompang' saja dulu di kampung bako.  

****        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar