Senin, 28 Maret 2016

Kemiskinan Bukan Diciptakan Manusia Tapi Diciptakan Institusi dan Kebijakan Penguasa (Tulisan Prof. Samsuridjal Djauzi)

 Kemiskinan Bukan Diciptakan Manusia Tapi Diciptakan Institusi dan Kebijakan Penguasa

(Tulisan menarik dari Prof. Samsuridjal Djauzi. Saya Dapatkan Dari Kiriman Seorang Rekan Melalui WA)

Semoga bermanfaat..

Poverty is not created by people , it has been created by institution and policy (Peraih Nobel Moh. Yunus)

Teman-teman saya hanya menceritakan kasus sederhana yaitu pedagang makanan kaki lima di RSCM. Saya bekerja di RSCM sejak lulus tahun 1969 meski sejak mahasiswa saya juga sudah menjalani magang di RSCM yaitu ketika mahasiswa tingkat 4. Para pengunjung RSCM sekarang merasa kagum karena RSCM menjadi bersih tak ada lagi pedagang makanan PKL. Setiap hari RSCM dikunjungi oleh 2000 pengunjung poliklinik sebagaian besar diantar oleh keluarga. Pasien yang dirawat sekitar 1000 orang yang juga dikunjungi oleh keluarga dan teman mereka. Belum lagi karyawan RSCM jumlahnya sekitar 6000 orang yaitu dokter (termasuk mahasiswa), perawat, petugas kesehatan lain, serta pegawai administrasi. Jadi sekitar 10.000 orang setiap hari memerlukan makan terutama makan siang. Sebenarnya juga makan pagi diperlukan karena banyak pasien bahkan mahasiswa belum sempat sarapan datang ke RSCM karena takut kesiangan.

Dulu ada sekitar 500 pedagang makanan PKL di parkiran depan RSCM dan dipinggir jalan. Kemudian Direksi membuatkan tempat yang jauh lebih bersih di parkir belakang dekat mesjid dan di lantai dasar rumah singgah. Sekarang semua dibersihkan. Ketika saya tanyakan jawabnya adalah karena JCI. Akreditasi internasional tersebut mensyaratkan semua makanan di RSCM dijual oleh restoran yang terakreditasi pula. Akibatnya sekarang kita hanya menemukan CFC, DUNKIN Donuts, Es Teler, Oh lala, dan resto menengah keatas lain. Sewaktu keluarga saya dirawat di Kencana, cucu saya lapar dan makan nasi goreng dan goreng buntut. Istri saya terkejut harus membayar 110 ribu rupiah. Esoknya pukul sepuluh malam saya juga mengunjungi cucu saya dan karena pulang praktek saya lapar. Resto semua tutup, saya berjalan ke Megaria, dan juga tutup. Baru kemudian saya dapat nasi goreng di depan mesjid Assyifa di jalan Kimia yg buka 24 jam harganya sepuluh ribu rupiah. Apa yang ingin saya kemukakan adalah bukan saja pada pedagang makanan kecil yang susah karena terusir tapi juga para pegawai dan pengunjung rumah sakit yang memerlukan makanan terjangkau tak terlayani.

Kenapa begitu? Karena sistem. Kita telah terkungkung oleh sistem yang kita pilih dan kita laksanakan. Sistem tersebut menjerat leher kita sendiri, rumah sakit di Indonesia yang sedang mengejar JCI ada lima disamping RSCM. Hal yang sama juga akan berlaku di rumah-rumah sakit tersebut. Stasiun kereta api telah lama steril dari PKL. Dulu saya sering memperhatikan di stasiun Cikini berhamburan penumpang turun, mereka belum sarapan dari Bogor dan Depok. Mereka dapat membeli makanan dengan harga terjangkau di stasiun. Sekarang yang ada hanya restoran mahal. Ribuan, puluhan ribu pedagang kecil terusir. Kita bersusah payah menumbuhkan wirausaha pemula namun pada waktu bersamaan kita mematikan wirausaha yang sudah tumbuh.

Langkah pertama yang perlu kita lakukan adalah advokasi. Peluang usaha untuk pedagang kecil. Lebih spesifik tempat uasaha bagi pedagang kecil. Saya melihat titik terang di dekat Tugu Proklamasi Jakarta. Pedagang kecil terutama makanan dibuatkan tenda di luar di sepanjang pagar jalan kereta api. Ada sekitar 50 tenda, setiap siang penuh karyawan makan di sana. Sekitar jam 3 hampir semua pedagang makanan sudah habis. Saya tanya sewanya , waktu penempatan 1,4 juta untuk tenda namun setelah itu hanya 100 ribu setiap bulan. Mereka semua senang.

Saya mengunjungi PKL yang direlokasi ke gedung Blok G pasar Tanah Abang. Setelah hampir tiga tahun disitu mereka tak tahan dan meninggalkan tempat tersebut. Pembeli amat sepi. Relokasi harus mempertimbangkan lakunya dagangan mereka bukan hanya sekadar ke lokasi yang nyaman dan tak mengganggu lalu lintas. Sekarang jika Anda sempat berjkunjung ke Blok G Anda akan mendapati ratusan kios kosong.

Sarikat Dagang Islam pada tahun 1905 menjadi dambaan pedagang batik pribumi karena memperjuangkan kepentingan mereka. Semoga kita juga dapat memperjuangkan nasib pedagang kecil. Mari belanja di warung tetangga tidak lagi di Alfa Mart dan Indomart.

Samsuridjal Djauzi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar