Sabtu, 30 September 2017

Rokok Dan Perokok Di Indonesia

Rokok Dan Perokok Di Indonesia    

Aku mendapat kiriman postingan dari seorang rekan tentang jumlah perokok di Indonesia yang mencapai 90 juta orang dan bahwa Indonesia merupakan negara dengan perokok terbesar di dunia. Angka yang sungguh sangat mencengangkan, meski aku kok ya kurang terlalu yakin keabsahannya. Seandainya angka itu benar, itu berarti bahwa lebih dari satu di antara tiga orang Indonesia secara keseluruhan, laki-laki dan perempuan, termasuk bayi-bayi sampai orang-orang tua renta adalah perokok. Rasa-rasanya pernyataan itu tidak masuk di akal. Paling tidak, tidak masuk di akalku.

Sepengamatanku, di kalangan orang-orang yang akrab denganku, jumlah perokok justru semakin berkurang. Karena sekarang kebebasan untuk merokok sangat dibatasi. Orang tidak bisa merokok di sembarang tempat sesukanya. Ada ancaman hukum bagi yang melanggar ketentuan tersebut. Umumnya kantor-kantor, tempat-tempat umum yang banyak orang, memberlakukan larangan merokok dengan ketat. Di bandara misalnya, disediakan sebuah ruangan kaca berukuran kecil untuk perokok dan di luar itu jangan coba-coba untuk merokok karena hal tersebut terlarang.

Aku sendiri pernah jadi pecandu rokok dan alhamdulillah berhasil menghentikan kebiasaan tersebut hampir 30 tahun yang lalu (di tahun 1988). Dahulu merokok adalah sesuatu yang sangat biasa dan perokok bebas untuk menghisap rokok di mana saja. Di pesawat udara, di kereta api, di bus, di kantor, di kamar hotel. Bahkan ada teman yang mengoleksi (sambil menguntil sepertinya) asbak dari hotel-hotel terkenal. Di kantorku waktu itu aku punya asbak besar (berlogo maskapai penerbangan) hadiah dari teman perokok. Ketika itu belum ada peringatan yang ditulis di bungkus rokok tentang bahaya merokok untuk kesehatan. 

Sebagai mantan perokok, aku menyadari betul betapa jahat dan buruknya kebiasaan merokok. Pernah aku sekeluarga (dengan tiga anak yang masih kecil-kecil) bepergian jarak jauh dalam mobil yang jendelanya tertutup (di musim dingin) aku masih tetap merokok. Tentu saja udara dalam mobil itu jadi pengap dan tidak sehat. Aku 'terpaksa' harus merokok sambil menyetir untuk melawan kantuk dan rasa jenuh. Istri dan anak-anakku 'terpaksa' menerima kenyataan itu. Betapa zhalimnya aku ketika itu. 

Alhamdulillah, dengan izin Allah aku berhenti merokok sejak bulan Agustus tahun 1988. Berawal dari 'keracunan' rokok usang, yang entah kenapa, secara berkala terjadi di pasaran. Di manapun rokok dengan merek yang sama dibeli, semuanya usang dan menyakitkan hidung ketika dihisap. Dan aku sangat fanatik dengan merek rokok. Aku biasanya sangat uring-uringan kalau masa rokok usang itu terjadi. Di bulan Agustus tahun 1988 itu adalah yang paling buruk, sampai aku dapat flu berat. Sehingga akhirnya aku memutuskan untuk berhenti 'sementara' merokok. Setelah berhenti dua tiga hari, terpikir untuk benar-benar berhenti. Dan itulah yang terjadi. Setelah berhasil menghindari rokok selama sebulan (dengan cukup berat tentu saja) aku peringatkan diriku, kapan saja aku mencoba sebatang rokok, maka niscaya aku akan kembali jadi perokok. Peringatan itu aku pelihara sampai sekarang.

Lalu, benarkah satu di antara tiga orang Indonesia sekarang ini pecandu rokok? Mungkin ada yang bisa menjawab.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar