Selasa, 03 Oktober 2017

Mabrur Sebelum Berhaji (dari majalah Hidayatullah)

Mabrur Sebelum Berhaji (dari majalah Hidayatullah)

Seorang Asep Sudrajat (61 tahun) bersama Asih, istrinya mewakili seorang yang mabrur sebelum berhaji, insya Allah. Hampir selama 20 tahun mereka menabung demi mewujudkan cita-cita mulia. Memenuhi panggilan Allah menuju tanah suci Mekah Al Mukarramah. Niat yang kuat dibuktikan dengan usaha sungguh-sungguh. Mengumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil warung kecil mereka yang seadanya.

Rp 50,830,000 terkumpul sudah. Hampir mencukupi untuk ongkos haji yang 27 juta rupiah per orang, ketika itu. Hanya perlu menambah sedikit agar benar-benar pas. Menabung satu tahun lagi barangkali tercukupi.

Niat sudah lengkap. Tekad sudah bulat. Mereka akan segera mendaftar di hari-hari depan. Hari-hari berikutnya mereka semakin giat berdagang. Menyisahkan hasil meski kecil. Hingga suatu pagi mereka mendengar kabar bahwa Kang Endi, kawan karibnya sesama jamaah masjid Ash-Shabirin, mendadak sakit. Ia dirawat di RS Hasan Sadikin, Bandung. Asep pun segera menjenguknya.

Kang Endi dirawat di ruang ICU. Tumor ganas menyerang dan menjalar. Begitu diagnosis dokter. Bergidik Asep mendengarnya. Ia besarkan hati sahabatnya untuk sabar, tawakal dan berdoa.

Hari kedelapan Kang Endi dipindahkan ke ruang kelas 3. Kamar yang gelap, pengap, berbau tak sedap dan cukup berantakan.

Hari kesebelas, saat Asep di sana, seorang perawat membawa surat. Tawaran untuk operasi tumor ganas. Biayanya hampir 50 juta rupiah. Dengan ekonomi yang sangat terbatas, keluarga Kang Endi hanya bisa gigit jari. Kondisinya semakin parah. Badannya semakin kurus dan lemah. Sorot matanya redup dan tak bisa bicara. Terkulai tak berdaya. Di pinggir ranjang. Asep sahabatnya mengambil keputusan besar. Berpamitan pulang.

Sesampai di rumah, Asep menyampaikan keputusannya kepada Asih, sang istri. “Bu, kondisi Kang Endi semakin memburuk. Bapak tidak sanggup melihat penderitaannya,“ papar Asep sambil bercerita lirih solusi yang ditawarkan pihak rumah sakit.

“Kasihan mereka ya Pak! Kita bisa bantu apa?” tanya Asih, iba. Trenyuh. “Kalau ibu berkenan, bagaimana bila dana tabungan haji kita diberikan saja kepada mereka semua untuk biaya operasi?” Asep menawarkan. Asih sempat kaget. “Diberikan? Waduh Pak, hampir 20 tahun kita menabung. Masak cita-cita ini pupus seketika dengan membantu orang lain?” tutur Asih memelas.

“Bu, banyak orang yang berhaji tapi belum tentu mabrur di sisi Allah. Mungkin ini jalan buat kita untuk meraih keridhaan Allah. Bapak yakin, bila kita menolong saudara kita, Insya Allah, kita pun akan ditolong Allah,” nasihat Asep.

Kalimat demi kalimat dari lidah suami yang penuh wibawa itu menyirami relung hati Asih. Istri shalihah itu pun akhirnya mengangguk setuju. Esok paginya, Asep dan Asih datang ke rumah sakit. Mengajak bicara istri Kang Endi sekaligus menyerahkan uang tersebut.

Istri Kang Endi tersentak, menangis, dan tak bisa berkata apa-apa. Suasana haru menyelimuti mereka. Uang itu dibawa ke bagian administrasi. Formulir diisi. Besok paginya jam 08.00 operasi tumor pun dijalani. Alhamdulillah.

Esoknya, sebelum operasi, dokter spesialis tulang yang selama ini menangani Kang Endi sempat berbincang dengan pihak keluarga. “Doakan ya agar operasi berjalan lancar! Oh ya, kalau boleh tahu, dari mana dana operasi ini?” tanya dokter yang tahu persis kondisi ekonomi keluarga Kang Endi.

“Alhamdulillah. Ada seorang tetangga kami yang membantu Dok. Namanya Pak Asep,” jawab istri Kang Endi.

“Memangnya, beliau usaha apa? Kok mau membantu dana hingga sebesar itu?” Di benak sang dokter, pastilah Asep seorang pengusaha sukses.

“Dia cuma usaha warung kecil saja kok di dekat rumah kami. Saya sendiri nggak percaya waktu dia dan istrinya memberikan bantuan sebesar itu,” tambahnya.

Alhamdulillah. Akhirnya operasi berjalan lancar. Seluruh keluarga, dokter dan perawat merasa gembira. Kang Endi tinggal menjalani masa penyembuhan pasca operasi. Selama itu, Pak Asep masih sering menjenguknya.

Suatu hari Asep dan sang dokter yang sedang memeriksa Kang Endi pun berkenalan. Dokter memuji kemurahan hati Pak Asep. Pak Asep hanya mampu mengembalikan pujian itu kepada Allah. Dokter itu kemudian meminta alamat Asep.

Beberapa pekan berlalu, Kang Endi sudah pulang dari rumah sakit. Malam itu, Asep dan Asih tengah berada di rumahnya. Warung mereka belum lagi tutup. Tiba-tiba sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan pagar rumah mereka. Namun Asep dan Asih tak bisa mengenali mereka. Begitu mendekat, tahulah Asep pria yang datang adalah dokter yang merawat Kang Endi. Ia datang bersama istrinya.

Asep kikuk saat menerima mereka. Seumur hidup belum pernah menerima ‘tamu besar’ seperti malam itu. Mereka pun dipersilahkan masuk. Diberi sajian ala kadarnya. Mereka terlibat pembicaraan hangat. Asep pun menanyakan maksud kedatangan mereka. Dokter mengungkapkan niat mereka bersilaturrahim seraya menyatakan keharuannya terhadap pengorbanan Asep dan istrinya. “Kami ingin belajar ikhlas seperti Pak Asep dan Ibu,” ungkap sang dokter penuh perasaan. Asep mengelak. Merendah.

“Pak Asep dan Ibu, saya dan istri berniat menunaikan haji tahun depan. Saya mohon doa Bapak dan Ibu agar perjalanan kami dimudahkan oleh Allah Ta’ala. Saya yakin doa orang-orang shalih seperti Bapak dan Ibu akan dikabulkan Allah,” lanjut sang dokter. Berkali-kali Asep dan Asih mengaminkan, walau ada sedikit rasa sedih dan getir. Sebab tahun depan mereka juga seharusnya bisa berangkat ibadah haji.

“Tapi, supaya doa Bapak dan Ibu semakin dikabulkan oleh Allah, bagaimana jika Bapak dan Ibu berdoanya di tempat-tempat yang mustajab?” papar sang dokter sambil menatap Asep dalam-dalam.

Asep sempat bingung, tapi ia beranikan diri untuk bertanya. ”Maksud Pak Dokter?”

“Maksud kami, izinkan saya dan istri mengajak Bapak dan Ibu untuk berhaji bersama kami dan berdoa di sana sehingga Allah mengabulkan doa kita semua,” tutur sang dokter penuh suka cita.

Asep dan Asih tiba-tiba diam. Saling berpandangan. Hening. Tak ada jawaban dari Asep dan Asih. Hanya ada derai air mata Asep dalam pelukan erat sang dokter, dan uraian tangis haru Asih dalam pelukan istri sang dokter. Dan, di ujung malam itu, tangis Asep dan Asih semakin meledak dalam sujud-sujud yang teramat syahdu dan dalam pijar-pijar syukur yang menyala indah.

***

Subhanallah wa Alhamdulillah. Tiada kata yang bisa mewakili kecuali hanya kepada keagungan Allah kita memasrahkan diri.

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, nisacaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” ( Q. S. Muhammad : 7).

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “ Barang siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mukmin dari berbagai kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan berbagai kesulitannya pada hari kiamat. Dan barang siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat” (HR. Muslim). Wallahu’alam bishshawab…

(Kisah nyata dikutip dari majalah Hidayatullah edisi Desember 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar