Senin, 31 Agustus 2015

Menangislah Karena Takut Pada Allah (Dari Islampos)

Menangislah Karena Takut pada Allah (Dari Islampos)

Senin 16 Zulkaedah 1436 / 31 Agustus 2015 15:40

Oleh : Mabsus Abu Fatih, @mabsus
 
 
 



MENANGIS merupakan hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Bisa dipastikan, tidak ada manusia –termasuk kita- yang tidak pernah menangis selama hidupnya. Ya, menangis adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan. Ada yang menangis karena hal yang membahagiakan. Mendapatkan keturunan, atau mendapatkan jodoh yang telah dinanti sekian lama misalnya.

Ada juga menangis yang disebabkan karena duka mendalam. Duka kehilangan sanak saudara, kehilangan orang terkasih, kehilangan harta benda atau karena terusir dari tempat kelahiran seperti yang dialami saudara-saudara kita di Palestina. Mereka menangis karena diusir oleh kaum Zionis terlaknat.

Contoh lain yang terbaru adalah apa yang dialami saudara-saudara kita di Kampung Pulo – Jakarta Timur. Mereka harus menangis lantaran dipaksa pindah dari Kampung Pulo, tempat yang telah mereka tempati selama tiga generasi lamanya. Wajar mereka menangis. Bagaimana tidak, awalnya mereka dijanjikan kampung deret di lokasi yang sekarang diratakan, tapi nyatanya mereka malah digusur.

Bagaimana tidak menangis, mereka digusur gubernur DKI Jakarta, Ahok dengan alasan telah menempati lahan yang seharusnya menjadi resapan air. Sementara pada saat yang sama, mereka menyaksikan bagaimana perumahan elit dan mall yang juga sama-sama berdiri di lahan yang menjadi resapan air ternyata dibiarkan begitu saja.

Mall Kelapa Gading dan Kelapa Gading Square adalah contoh dari bagunan mewah dan sentra bisnis yang telah merebut daerah resapan air bahkan persawahan. Kenapa Mall Kelapa Gading dan Kelapa Gading Square tidak disentuh, sementara Kampung Pulo diobrak-abrik? Apakah karena Mall Kelapa Gading dan Kelapa Gading Square milik konglomerat dan kapitalis?

Semoga Allah memberikan kesabaran kepada saudara-saudara kita di Kampung Pulo, dan daerah-daerah lainnya. Hanya kepada Allah-lah urusan orang-orang dzalim kita serahkan.

Kembali kepada persoalan menangis. Apakah menangis hanya terjadi karena hal bahagia atau duka mendalam semata? Ternyata tidak. Ada penjelasan ulama yang berkaitan dengan menangis. Pendapat Syaikh Shalih bin Shuwailih Al-Hasawy dalam bukunya Tangis Para Salaf hal. 17-18 misalnya. Dalam buku yang merupakan terjemahan dari “Al-khosyatu wa al-bukâu” tersebut, Syaikh Shalih bin Shuwailih al-Hasawy menjelaskan bahwa tangisan terbagi menjadi tiga macam.

Pertama, tangisan karena kegembiraan dan tangisan kebahagiaan. Contoh dari tangisan ini adalah sebagaimana disebutkan dalam kisah hijrah Abu Bakar ash-Shiddiq, ketika beliau berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Bolehkah aku menyertaimu wahai Rasulullah?”. Rasul menjawab: “Ya”. ‘Aisyah menceritakan: “Maka menangislah Abu Bakar karena gembiranya. Padahal sebelumnya tidak pernah aku mengira ada seseorang yang menangis karena gembira”

Kedua, tangisan karena kesedihan sebab telah kehilangan kekasih atau karib kerabat, atau karena musibah yang menimpa kaum muslimin. Ini merupakan kasih sayang yang Allah resapkan ke dalam hati hamba-hamba-Nya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah Shallallu ‘alaihi wa sallam ketika beliau meneteskan air mata di saat kematian putera beliau bernama Ibrahim. Abdurrahman bin ‘Auf berkata kepada beliau: “Engkau juga menangis wahai Rasulullah?”. Beliau berkata: “Wahai Ibnu ‘Auf, ini adalah air mata kasih sayang”

Ketiga, ini merupakan jenis tangisan yang paling agung dan paling mulia. Yaitu, tangisan karena takut kepada Allah Subhânahu wa ta’âlâ. Tangisan jenis ini disebutkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

Dalam Al-Qur’an, misalnya disebutkan di dalam QS Al-Isrâ’[17] : 107-109, “Katakanlah, ‘Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, Dan mereka berkata: “Maha suci Tuhan Kami, Sesungguhnya janji Tuhan Kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.

Disamping QS Al-Isra tersebut, ayat yang membicarakan tentang menangis karena takut kepada Allah bisa ditemukan di dalam QS Maryam [19]:58, QS Al-Mâidah [5]:83, at-Tawbah [9]:91-92, QS An-Najm [53]:59-60.

Juga disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak akan masuk neraka seorang lelaki yang menangis karena takut kepada Allah, sehingga air susu kembali ke puting susunya. Dan tidak akan berkumpul debu fi sabilillah dengan asap jahannam selamanya’” (HR at-Tirmidzi dan An-Nasâi, at-Tirmidzi berkata: “Hasan Shahîh.”)

Lebih dari itu, menangis karena takut kepada Allah SWT bukan hanya agung dan mulia, melainkan juga merupakan amalan yang disunahkan. Bahkan perasaan takutnya seorang hamba kepada Allah itu sendiri fardlu hukumnya. (Min Muqâwimât an-Nafsiyah al-Islâmiyah, Daarul Ummah, Beirut. Hal. 40 dan Hal. 46)

Semoga kita termasuk orang-orang yang bukan hanya bisa menangis lantaran bahagia dan sedih semata, tetapi kita juga bisa menangis lantaran takutnya kita kepada Allah Ta’ala. Âmîn Yâ Rabbal ‘Âlamîn. 

Wallâhu a’lâm bi al-shawâb.

****

Sabtu, 29 Agustus 2015

Nilai Rupiah Kita Melawan Biaya Kurban

Nilai Rupiah Kita Melawan Biaya Kurban    

Tadi pagi sesudah shalat subuh kami rapat di mesjid untuk memantapkan berapa biaya kurban untuk tahun ini. Kemarin sore kami pergi survai ke dua lokasi / kandang sapi di Cikunir dan di Cikarang. Dari hasil survai itu kami sudah mendapat harga yang cocok di Cikarang. Untuk ukuran sapi pilihan kami (biasanya yang berbobot sekitar 260 - 270 kg) harganya 13,5 juta rupiah seekor, atau seharga Rp 52,000 per kilogram berat kotor, dengan kondisi sapi sudah sampai di lokasi mesjid kami di Jatibening. Dengan harga sapi sekian itu, ditambah biaya operasional maka kami menetapkan untuk setiap peserta kurban (sepertujuh sapi), akan dikenakan biaya 2,2 juta rupiah.  

Harga sepertujuh ekor sapi tahun ini lebih mahal Rp 300,000 dibandingkan harga tahun lalu, atau mengalami kenaikan sekitar 16%.

Kenaikan harga ini cukup mencengangkan. Iseng-iseng aku buka file beberapa tahun ke belakang. Tahun 2011, harganya sejuta tiga ratus ribu rupiah. Tahun 2012 sejuta lima ratus ribu. Tahun 2013 sejuta tujuh ratus ribu. Dan tahun lalu sejuta sembilan ratus ribu. Harga per kilogram berat kotor tahun lalu adalah Rp 46,000. Tahun 2011 masih Rp 31,000. Dan harus dibandingkan pula dengan harga satu kilogram daging di pasar, yang sekarang berkisar sekitar Rp 110,000. Tahun lalu harga daging sekitar Rp 90,000. Dan tahun 2011 masih di bawah Rp 50,000.

Melihat angka-angka ini memang agak mengesalkan. Bagaimana bisa lonjakan harga daging maupun harga sapi kurban terjadi seperti itu. Memang benar bahwa nilai rupiah dibandingkan dengan dolar juga merosot tapi kenaikan harga daging jauh melebihi kemerosotan nilai tukar rupiah. 

Konon ada tangan-tangan jahil alias mafia yang mengatur dan mempermainkan harga daging dan harga sapi. Itulah sedihnya di negara ini. Ada saja orang-orang tertentu yang bisa mengambil keuntungan dengan caranya sendiri. Anehnya, pemerintah  tidak berdaya mengatasinya. 

Alhamdulillaah, meski biaya berkurban sapi selalu naik cukup besar, animo jamaah di komplek perumahan kami untuk berkurban cukup menggembirakan. Tahun lalu kami memotong 16 ekor sapi ditambah 15 ekor kambing. Mudah-mudahan animo berkurban tahun ini akan tetap tinggi.

****            

Selasa, 25 Agustus 2015

Mie Rebus Bukan Instant

Mie Rebus Bukan Instant

Siapa yang tidak suka dengan mie? Dan ada banyak sekali macam mie yang tersedia sebagai jajanan. Baik yang sudah jadi ataupun yang harus diolah kembali. Baik yang berkelas karena namanya terlanjur dikenal orang banyak maupun yang kelas gerobak dorong. Baik yang mie instant ataupun yang perlu digodog. Ada mie bakso dan ada mie ayam. Ada mie goreng dan ada mie rebus. Banyaklah pokoknya. Akupun menyukainya. 

Namun jajan mie itu akhir-akhir ini meresahkan. Kalau membeli yang sudah jadi harus dikenali betul bahwa jajanan itu tidak salah urus. Tidak tercampur dengan bahan yang tidak halal atau tidak bersih. Karena memang banyak sekali tangan-tangan jahil yang mencampuradukkan yang haram ke dalam yang halal. Yang jorok dan kotor ke dalam yang bersih. Dan sialnya, tidak mudah mendeteksinya. Produk cepat saji alias mie instant kononnya ada yang menggunakan bahan pengawet berlebihan, yang oleh karenanya membahayakan kesehatan. Khusus mie instant ini, sekarang jenisnya terlalu banyak. Tapi rasanya jarang yang enak.

Karena adanya hal-hal meragukan dalam jajanan mie di rumahku kami lebih sering membuat sendiri mie. Bukan mie instant. Maksudnya mengolah dari mie kering (mie telor) menjadi mie goreng atau mie rebus tanpa bumbu jadi yang agak meragukan itu. Seperti mie rebus berikut ini;

Bahan-bahan:

- Satu bungkus (pak) mie telor yang terdiri dari tiga keping kering. 

- Dua gelas air

- Tiga siung bawang merah

- Satu siung bawang putih

- Tiga batang bawang daun

- dua sendok makan minyak goreng atau mentega

- Satu butir telor ayam

- 10 ekor udang basah ukuran kecil / sedang.

- Satu setengah sendok teh bubuk merica

- Garam secukupnya.

Membuatnya:

1. Rebus mie telor dengan dua gelas air. Tambahkan garam dan merica bubuk. Rebus sampai airnya mendidih lalu matikan apinya.  Biarkan mie mengembang.

2. Telor digoreng orak arik dengan menggunakan sedikit minyak goreng lalu pisahkan.

3. Udang digoreng dan dipisahkan.

4. Tumiskan bawang merah, bawang putih dan daun bawang yang sudah diiris.
5. Masukkan 2, 3 dan 4 ke dalam mie dan panaskan sekitar dua tiga menit, sambil diaduk.

Jadilah mie rebus bukan instant.

****
                                            

Minggu, 23 Agustus 2015

Ketetapan Allah Yang Sudah Berlaku

Ketetapan Allah Yang Sudah Berlaku     

Rukun iman yang ke enam adalah percaya dengan ketetapan Allah atau takdir Allah, yang baik ataupun yang buruk. Apa-apa yang telah berlaku harus diimani dan urusannya dikembalikan kepada Allah. Seandainya yang terjadi adalah sesuatu yang buruk, misalnya kehilangan, kecelakaan atau musibah lainnya, tidak boleh diumpat atau disesali. Diterima saja apa adanya dengan berserah diri kepada Allah. Kita harus cepat menyadari bahwa yang terjadi itu adalah ketetapan Allah. Maka ketika ditimpa musibah kita diajarkan agar membaca Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun. (Sesungguhnya kami datang dari Allah dan kepada-Nya kami akan kembali). 

Memang kadang-kadang sebuah musibah bisa terjadi karena seseorang mengambil satu dari dua pilihan. Misalnya di saat hujan lebat, dia ragu-ragu antara akan pergi atau tidak. Akhirnya di ujung keragu-raguan itu diambilnya keputusan untuk berangkat. Dan ternyata terjadi musibah, dia mendapat kecelakaan. Yang terjadi itu adalah takdir Allah kepadanya. Tidak ada gunanya dia menyesali dan mengatakan, 'coba tadi aku tidak jadi pergi.' 

Ada lagi kebiasaan sementara kita menyesali suatu kejadian yang sudah lama berlalu tapi akibatnya terasa sekarang. Beberapa tahun yang lalu kita jual sebidang tanah dengan harga waktu itu. Ternyata sekarang harganya sudah naik berkali lipat. Timbul penyesalan dan diungkapkan, 'seandainya dulu tidak aku jual.....' Padahal seandainya waktu itu tidak dijual, tapi dijual sekarang, beberapa tahun yang akan datang hal yang sama dapat saja terjadi. Harganya semakin naik. Lalu apa gunanya disesali?

Banyak contoh lain yang mirip dengan hal ini. Misalnya ketika kita salah membeli barang. Atau salah memilih tempat bekerja. Atau keliru memilih teman. Waktu kita memutuskan untuk mengambilnya dulu seyogianya sudah hasil dari pertimbangan yang matang. Bahwa kemudian ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan lain lagi persoalannya. Itulah takdir.

Kebalikannya juga bisa berlaku. Sesuatu yang kita awali dengan biasa-biasa saja. Tidak dibayangkan akan membawa keuntungan. Tapi ternyata atas izin Allah banyak manfaat dan kebaikan yang diperoleh. Itulah takdir.   

Bagi orang yang beriman, apapun yang menimpa dirinya senantiasa akan berbuah kebaikan untuknya di sisi Allah. Ketika dia diberi kemuliaan atau keberhasilan, dia bersyukur kepada Allah. Begitu pula, ketika dia mendapat ujian dari Allah berupa musibah apapun, dia bersabar dan berserah diri kepada Allah. 

****                                               

Jumat, 14 Agustus 2015

Dialog Dosen Dengan Mahasiswi Liberal Soal Jilbab (Dari Akhwat Muslimah)

Dialog Dosen dengan Mahasiswi Liberal Soal Jilbab


Akhwatmuslimah.com – 

Mahasiswi: Apakah ada satu ayat dalam Qur’an yang mewajibkan perempuan berhijab/berjilbab?

Dr. Jassem al-Mutowi’: Perkenalkanlah diri anda terlebih dulu

Mahasiswi: Saya adalah mahasiswa semester akhir di universitas. Sepengetahuan saya bahwa jilbab tidak diperintahkan oleh Allah. Oleh sebab itu saya tidak berjilbab, namun saya tetap sholat alhamdulillah.

Dosen: Baiklah, boleh saya bertanya satu soal kepada anda?

Mahasiswi: Silahkan.

Dosen: Jika saya mengulang-ulang satu makna kepada anda tetapi saya ungkapkan dengan 3 kata yang berbeda, apakah yang anda pahami?

Mahasiswi: Hmm maksudnya apa ya?

Dosen: Jika saya bilang kepada anda, tolong bawakan ijazah universitasmu, atau bawakan kertas hasil kelulusanmu, atau bawakan surat pernyataan hasil akhir dari universitas, apakah yang anda pahami?

Mahasiswi: Saya harus membawa bukti ijazah universitas saya, tak ada ruang bagi saya untuk salah memahami ungkapan bapak, karena memang maksud dari ketiga ungkapan (ijazah, kertas, pernyataan) itu satu makna.

Dosen: Nah itulah yang saya maksudkan sebelum ini…!

Mahasiswi: Tapi apakah kaitannya ungkapan bapak dengan hijab?
 
Dosen: Sebenarnya Allah gunakan 3 istilah di dalam Qur’an untuk mengungkapkan hijab perempuan.

Mahasiswi: (sambil memandang aneh...) Bagaimana itu bisa?
 
Dosen: Allah telah mensifatkan pakaian yang menutupi tubuh perempuan dengan istilah hijab, jilbab dan khimar untuk satu makna. Jadi anda pahaminya bagaimana?

Mahasiswi itu terdiam.

Dosen: Anda mesti pahami bahwa tema jilbab ini semestinya tidak menimbulkan perbedaan di antara kita seperti halnya 3 ungkapan ijazah untuk makna yang sama kan?

Mahasiswi: Bapak telah mengagetkan saya dalam cara berdiskusi seperti ini.

Dosen: Sifat pertama, yaitu firman Allah “hendaklah mereka menjulurkan kerudung mereka ke atas juyub tubuh mereka”, kedua, ialah firman-Nya “wahai Nabi katakanlah kepada isterimu, anak perempuanmu, dan istri orang-orang beriman untuk mengulurkan jilbab mereka”. Ketiga, ialah firman-Nya “jika kamu meminta suatu barang kepada isteri nabi, maka mintalah dari balik hijab”. Bukankah ini semua menunjukkan wajibnya menutup tubuh perempuan?

Mahasiswi: Sungguh bapak telah membuat saya terkejut dengan perkataan ini.

Dosen: Baiklah saya jelaskan kepadamu ketiga istilah itu dalam bahasa arab. Khimar adalah kain yang menutupi kepala perempuan, dan menjulurkannya ke atas juyub maksudnya mengulurkannya agar bisa menutupi leher dan dada. Jilbab adalah kain baju yang luas dan panjang, menutupi lengan tangan dan kepala, seperti baju tradisional Maroko. Hijab adalah tirai penutup.

Mahasiswi: Saya bisa memahami bahwa tidak bisa tidak saya mesti berhijab.

Dosen: Ya memang demikian wajib. Jika hatimu dipenuhi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ada 2 jenis pakaian. Pertama, pakaian yang menutupi fisik, sebagai kewajiban mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Kedua, pakaian yang menutupi roh dan kalbu, jenis ini lebih baik dari yang pertama.

Karena perempuan bisa jadi berjilbab secara fisik, namun ia kehilangan atau lepas dari pakaian takwa. Yang benar adalah perempuan harus memakai 2 jenis pakaian itu. Hal ini juga berlaku bagi pakaian yang dikenakan laki-laki.
 
Mahasiswi: Dulu saya mengira bahwa hijab tidak disebutkan di dalam Qur’an.

Dosen: Tentu saja hijab telah disebutkan di dalam Qur’an dan juga sunnah, serta disepakati oleh seluruh ulama islam. Kamu harus gemar taqarrub kepada Allah dengan mentaati-Nya karena telanjang itu salah satu tujuan syetan untuk menjerumuskan Adam dan Hawa.

Mahasiswi: Apa maksud anda?

Dosen: Ketika Allah perintahkan Adam dan Hawa memakan buah-buahan sorga, selain satu pohon khuldi, setan langsung membisiki mereka berdua “fa dallaahuma bi ghurur”.
Maka ketika mereka berdua melanggar perintah Allah itu dengan memakan buah khuldi tersingkaplah aurat mereka (lihat surah al-A’raf: 22) itulah tujuan setan agar umat manusia telanjang sempurna. Oleh sebab itu Adam dan Hawa bertobat dan segera mencari dedaunan besar untuk menutupi aurat kemaluan mereka. Persoalan pakaian sangat tua seusia penciptaan Adam dan Hawa. Saya sarankan kamu membaca buku “psikologi pakaian” karena pakaian berpengaruh kepada kepribadian kita.
 
Mahasiswi: Terus terang saya tidak mengira persoalan hijab dan pakaian ini sangat besar sekali.

Dosen: Apakah sekarang kamu telah memutuskan untuk berhijab atau berjilbab atau berkerudung?

Mahasiswi pun tersenyum dan berkata: Sungguh saya telah pahami pelajaran ini dengan baik, tapii, saya akan berhijab kalau sudah tua kelak…

Dosen: Hmm, ternyata kamu berfikir dan berencana yang berkebalikan dengan perintah Allah.

Mahasiswi pun kebingungan, “bagaimana kebalikan”?
 
Dosen: Allah telah beri keringanan kepada perempuan tua untuk melepas hijabnya dalam firman-Nya di surah An-Nur: 60. Allah meringankan kewajiban berjilbab bagi perempuan tua dengan syarat tidak tabarruj dalam berhias.

Mahasiswi: Kalau gitu, kami yang masih muda ini artinya haruslah iltizam wajib mengenakannya. Hehe sambil tersenyum.
 
Dosen: Masya Allah kamu cerdas sekali menarik kesimpulan. Nah, bukankah kamu menjaga solat 5 waktu? Apakah ketika solat kamu memakai hijab?

Mahasiswi: Tentu saja donk..

Dosen: Kalau begitu, kenapa dalam sholat wajib dipakai?
 
Mahasiswi: Maaf saya tidak tahu (lalu tersenyum)
 
Dosen: Apakah kamu percaya bahwa Islam memerintahkan perempuan mengenakan pakaian untuk menghadap Allah dalam sholat lalu menyuruh ia gunakan pakaian yang lebih pendek dan minimalis ketika menghadapi manusia di luar solat?
 
Mahasiswi: Ya beda kan, yang satu solat kita sedang beribadah, dan yang satu lagi kita sedang bermuamalah dunia..!
 
Dosen: Benar, solat adalah ibadah, dan ia bagian dari kehidupan kita. Sementara hidup kita ini seluruhnya adalah ibadah kepada Allah. Makanya pakaian perempuan di dalam solat itulah pakaiannya di dalam kehidupan ini seluruhnya.

Selesailah dialog antara dosen dan mahasiswinya.

****

Kamis, 13 Agustus 2015

Berhutang

Berhutang

Sesuatu yang pantas aku syukuri adalah ketidaksukaanku berhutang. Bukan berarti aku tidak pernah berhutang. Tentu saja pernah. Seperti ketika aku jadi mahasiswa kere dulu di Bandung. Yang adakalanya karena sangat terdesak terpaksa berhutang kepada teman. Tapi aku tidak merasa tenang kalau sedang terlibat dalam hutang. Dan ingin cepat-cepat melunasinya. Setelah bekerja dan memperoleh gaji tetap aku tidak pernah mau berhutang, kecuali hutang yang memang diskenariokan seperti pinjaman lunak untuk membeli rumah dari perusahaan yang cicilannya dilakukan dengan pemotongan gaji. 

Aku menggunakan kartu kredit alias kartu berhutang sejak tahun-tahun 1980an. Kartu ini memudahkan ketika bepergian dalam tugas, seperti untuk membayar hotel ataupun berbelanja yang perlu-perlu selama dalam perjalanan. Begitu tagihannya datang beberapa hari kemudian, aku segera melunasinya. Tidak sekalipun aku mau mencicil pembayarannya karena dengan mencicil aku akan dikenai bunga, yang adalah riba. Hal yang sangat aku hindari.

Aku melihat kebiasaan berhutang itu sebagai sebuah masalah kejiwaan. Aku mengenal orang yang sangat senang berhutang entah melalui pemakaian kartu kredit ataupun langsung meminjam entah ke bank atau ke pribadi-pribadi. Berhutang dengan kartu kredit atau ke bank sudah pasti dikenai bunga. Dan biasanya pula bunga berbunga. Yang kalau tidak pandai-pandai merencanakan pembayarannya hutang itu akan semakin besar dan mencekik.

Kebalikannya, aku juga pernah dihutangi. Baik dalam jumlah kecil maupun dalam jumlah cukup besar (relatif). Pengalaman dengan mereka-mereka yang berhutang ini hampir seragam. Betapa susahnya mereka untuk membayar. Entah benar-benar susah karena tidak mampu atau karena sengaja melupa-lupakan, wallahu a'lam. Padahal pinjaman-pinjaman itu tidak berbunga. Seandainya yang dipinjam seribu rupiah, aku berharap akan mereka kembalikan seribu rupiah juga. Dan aku malas untuk menagihnya. Sebenarnya dalam urusan hutang piutang ini, Allah memerintahkan agar ditulis dan disaksikan oleh dua orang laki-laki seperti firman Allah dalam surah al Baqarah ayat 282. Tapi kita, termasuk aku, lalai karena beranggapan bahwa yang berhutang tidak akan melupakan tanggung jawabnya. 

Malas membayar hutang ini mungkin juga merupakan penyakit. Di mesjid kami pernah dibuat baitul maal dari infaq jamaah untuk dipinjamkan kepada mereka-mereka yang ingin membuat usaha kecil-kecilan. Misalnya seperti pedagang sayur, pedagang bakso dan sebagainya. Pinjaman tanpa bunga dan membayarnya dicicil. Dibuatkan surat perjanjian hutang. Sekitar 70% dari dana itu hanyut begitu saja. Peminjamnya enggan untuk mengembalikan.

Seandainya orang-orang yang berhutang tahu, bahwa hutang yang tidak dilunasi di dunia ini nanti di akhirat tetap akan disuruh lunasi. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah tidak mau menyalatkan jenazah seseorang yang masih terlibat dalam hutang. 

**** 

                                              

Sabtu, 08 Agustus 2015

Gadget

Gadget 

Seorang teman mengirim cerita melalui Whatsapp, tentang sepasang kanak-kanak yang mengeluh karena tidak lagi mendapat perhatian memadai dari orangtuanya. Pasalnya, kedua orang tua itu selalu sibuk dengan gadget smartphone mereka. Pada saat di meja makan, di waktu semua anggota keluarga hadir, tangan mereka itu tetap tidak lepas dari sang gadget. Tidak ada omongan di antara mereka, tapi wajah ayah dan ibu selalu terlihat serius. Kadang-kadang bahkan mereka tersenyum atau tertawa sendiri. Kalau kanak-kanak itu bertanya, jawabannya hanya ah, ih, uh dan tidak jarang malahan kena marah.

Begitu memang gambaran banyak orang tua sekarang. Sibuk dengan gadget. Dengan permainan. Permainan ini dalam bahasa kampungku disebut 'pamenan'. Biasanya yang senang dengan permainan alias pamenan alias gadget itu adalah kanak-kanak. Jenis permainan itu memang semakin bervariasi sehingga yang menyukainya tidak lagi terbatas pada usia kanak-kanak saja. Kenapa orang sampai tergila-gila menggunakan gadget? Ada yang dengan lugu menjawab karena teknologi canggih ini baru ada sekarang. Dulu ketika kita masih kanak-kanak belum ada benda seperti ini.

Tidak jarang kesibukan sendiri-sendiri itu berlanjut sampai ke kamar tidur. Suami istri itu berada di tempat tidur yang sama, sama-sama memegang smartphone masing-masing, tapi dengan kesibukan yang berbeda. Yang satu sedang chatting dengan temannya di balik bumi, yang lain sedang membaca status teman facebook yang berada di seberang pulau. Gadget itu benar-benar telah menjadikan yang jauh jadi sangat dekat dan pada waktu bersamaan menjadikan yang sangat dekat menjadi jauh sekali.

Gadget smartphone memang semakin canggih dari sehari ke sehari. Apa saja bisa diintip melalui alat ini. Sebanyak yang baik, sebanyak itu pula yang tidak baik. Berita, cerita, hiburan, pengajian, gossip. Setiap orang bahkan bisa saling berbagi informasi audio visual dengan sangat mudahnya. Jepret sebuah momen atau kejadian atau pemandangan lalu dengan sekali klik berikutnya informasi itu bisa dikirim ke segenap pelosok dunia.   

Menggunakan gadget ada nilai positifnya kalau kita pandai memanfaatkannya dengan baik. Tapi banyak pula nilai negatifnya kalau kita terlalu kecanduan sehingga lupa dengan diri sendiri. Lupa bahwa kita adalah orang tua, yang diperlukan anak-anak untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang. Lupa bahwa kita adalah pasangan hidup, sebagai suami atau istri, yang tidak seharusnya lebih sibuk bersenda gurau dengan seseorang di tempat yang jauh sementara pasangan kita di samping tidak dianggap sama sekali. 

Jadi, ya berpandai-pandailah dalam menyikapi dan menggunakan produk kemajuan teknologi ini.

****                         

Kamis, 06 Agustus 2015

Lihat Orang Shalat Di Stasiun, Lelaki Ini Masuk Islam (Dari Islampos)

Lihat Orang Shalat di Stasiun, Lelaki ini Masuk Islam
 
Kamis 13 Syaaban 1435 / 12 Juni 2014 14:30


Oleh : M. Syamsi Ali, Imam Masjid Islamic Cultural Center New York

HIDAYAH Allah datang tanpa terduga. Seseorang mengatakan hidayah Allah itu mahal, karena tidak semua bisa dapat. Tapi jika Allah sudah berkehandak, siapapun kapanpun hidayah itu bisa diterima.

Sama halnya dengan pemuda berkulit cokelat asal Trinidad ini. Ia terpana melihat pemandangan di depannya. Dia bernama Dion, lelaki berusia 26 tahun itu, tak henti-henti mengarah ke sekelompok Muslim yang sedang shalat dengan khusyu’nya di tengah ramainya stasiun kereta di sebuah kota di Belgia. Dion seperti tersambar petir. “Saya tidak tahu, tiba-tiba karena melihat mereka shalat di stasiun hati saya bergetar,” katanya.

Seusai mereka shalat, Dion memberanikan diri bertanya, siapa mereka dan apa gerangan yang mereka baru lakukan? Setelah mendapatkan jawaban dari mereka, pemuda yang bekerja sebagai akuntan di Stamford, Connecticut, itu tidak pernah habis berpikir. Ada pikiran yang berkecamuk keras, antara percaya dengan perasaannya sendiri dan apa yang dia kenal selama ini tentang Islam.

Tiga minggu sesudah kejadian itu, Dion bertemu saya di Islamic Forum for non Muslim New York yang saya asuh. Rambutnya panjang. Gaya berpakaiannya membuat saya hampir tidak percaya jika hatinya begitu lembut menerima hidayah Ilahi. Biasanya ketika menerima pendatang baru di kelas ini, saya mulai menjelaskan dasar-dasar Islam sesuai kebutuhan dan pengetahuan masing-masing peserta. Tapi hari itu, tanpa kusia-siakan kesempatan, saya jelaskan makna shalat dalam kehidupan manusia, khususnya dalam konteks manusia modern yang telah mengalami kekosongan spiritualitas.

Hampir satu jam saya jelaskan hal itu kepada Dion dan pendatang baru lainnya. Hampir tidak ada pertanyaan serius, kecuali beberapa yang mempertanyakan tentang jumlah shalat yang menurut mereka terlalu banyak. “Apa lima kali sehari tidak terlalu berat?” tanya seseorang. “Sama sekali tidak. Bagi seorang Muslim, shalat 5 waktu bahkan lebih dari itu adalah rahmat Allah,” jawabku. Biasanya saya membandingkan dengan makan, minum, istirahat untuk kebutuhan fisik.

Setelah kelas bubar, Dion ingin berbicara berdua. Biasanya saya tergesa-gesa karena harus mengisi pengajian di salah satu masjid lainnya. “Saya rasa Islam lah yang benar-benar saya butuhkan. Apa yang harus saya lakukan untuk menjadi Muslim?” tanyanya tanpa tedeng aling-aling.

Saya diam sejenak, lalu saya bilang, “Saya bukannya mau menunda jika kamu benar-benar yakin bahwa ini jalan yang benar untuk kamu. Tapi coba pastikan, apakah keputusan ini datang dari dalam dirimu sendiri.”

Dengan bersemangat Dion kemudian menjawab, “Sejak dua minggu lalu, saya mencari-cari jalan untuk mengikuti agama ini. Beruntung saya kesini hari ini. Kasih tahu saya harus ngapain?” katanya lagi.

Alhamdulillah, siang itu juga Dion resmi menjadi Muslim setelah mengucapkan syahadat menjelang shalat Ashar. Diiringi gema “Allahu Akbar!” dia menerima ucapan selamat dari ratusan jama’ah yang shalat Ashar di Islamic Center of New York.

Saat itu Dion pernah mengikuti ceramah saya di Yale University dengan tema “Islam, Freedom and Democracy in Contemporary Indonesia”. Pada kesempatan itu saya perkenalkan dia kepada masyarakat Muslim yang ada di Connecticut, khususnya Stamford. Sayang, belum ada tempat di daerahnya di mana dia bisa mendalami Islam lebih jauh. Hingga kini, dia masih bolak balik Stamford-New York yang memakan waktu sekitar 1 jam, untuk belajar Islam.

Semoga Dion dikuatkan dan selalu dijaga dalam lindunganNya! 

[fh/islampos/pitidki]

****