Kamis, 30 April 2015

Cordoba

Cordoba

Sebelum berangkat mengunjungi cucu, menantu kami B menanyakan kemana kami ingin diajak jalan-jalan selama berada di Pau. Rencana itu akan disesuaikan dengan jadwal libur sekolah Hamizan dan dia sendiri akan mengambil cuti. Dulu ketika pernah tinggal di Perancis, kami ingin berkunjung ke Cordoba dan Alhambra di Spanyol, melihat peninggalan sejarah Islam di sana. Keinginan tersebut tidak pernah kesampaian. Waktu aku memberi tahu hal tersebut menantu kami menyetujuinya dan merencanakan saat kunjungan akan dilakukan dan menyiapkan segala sesuatu termasuk pemesanan hotel dan kendaraan. 

Rencana itu kami realisasikan hari Selasa tanggal 28 April. Kami berangkat dari Pau jam setengah sebelas pagi. Perjalanan jauh melalui jalan tol (autoroute) ke arah barat dari Pau sampai ke kota Burgos lalu berbelok ke selatan menuju Spanyol. Lalu lintas sangat lancar dan kami melaju dengan kecepatan maksimal 130 km per jam. B, sang menantu sangat menyukai menyetir dalam


perjalanan jauh seperti ini, yang sudah dilakukannya banyak kali selama keberadaannya di Pau. Menyetir di jalan yang bagus dan suasana berlalu lintas yang tertib memang cukup menyenangkan. 

Pemandangan hampir monoton di sepanjang jalan dengan tanah pertanian yang terhampar sangat luas di area yang relatif datar. Sebagian besar berwarna hijau, mirip sawah di negeri kita. Pengairan ladang ini kelihatannya dilakukan dengan air tanah yang dipompa. Cuaca cerah di sepanjang perjalanan. Jam satu siang kami berhenti istirahat di sebuah pompa bensin untuk makan siang dan shalat. Makan masakan yang disiapkan dari rumah. Tempat itu sudah di daerah Spanyol. Banyak truk besar juga beristirahat di sana. 

Hampir jam setengah tiga, sesudah melaksanakan shalat zuhur (waktu zuhur jam dua lebih sepuluh), kami melanjutkan perjalanan. Melalui jalan tol yang tetap lancar tanpa halangan. Aku mengamati bahwa satu sisi jalan tol ini hanya terdiri dari dua jalur saja. Para pengemudi umumnya sangat tertib. Mereka mengemudi di jalur paling kanan dan masuk ke jalur kiri hanya ketika akan mendahului kendaraan lain. Kadang-kadang kami beriringan dengan beberapa buah truk besar dan panjang. Ketika sebuah truk sedang mendahului truk lain, dengan kecepatan lebih rendah, kendaraan kecil menunggu di belakangnya. Tidak ada yang main serobot.

Perjalanan panjang di hari itu kami akhiri di kota Madrid, lebih dari 600 km dari Pau. Kami sampai di sini jam setengah tujuh sore, tapi matahari masih seperti jam tiga di tempat kita. Di kota ini kami menginap malam itu, di sebuah hotel apartemen dengan dua buah kamar, ruangan keluarga dan dapur. 

Hari Rabu pagi kami melanjutkan perjalanan. Diawali dengan melihat-lihat kota Madrid sambil berkendaraan saja tanpa berhenti. Kami (aku, istri dan dua anak kami yang pertama) pernah berkunjung ke kota ini di tahun 1984. Naik kereta api dari Paris yang di perbatasan Perancis - Spanyol kereta api harus menyesuaikan ukuran as rodanya, karena ukuran rel antara kedua negara itu berbeda. Waktu itu aku menyewa mobil dan berkeliling-keliling di dalam kota ini. Jam sebelas kami tinggalkan kota Madrid. Tujuan kami adalah Cordoba, 400 km di selatan.

Ada yang berbeda di jalan menuju Cordoba ini. Jalan tolnya gratis. Kemarin sampai ke Madrid kami masih membayar tol. 

Menjelang jam empat sore kami sampai di Cordoba. Langsung menuju komplek mesjid yang terkenal itu. Kami melalui sebuah jembatan cukup panjang dari tempat parkir sebelum sampai ke mesjid. Dari jembatan itu bangunan itu tidak terlihat lagi seperti sebuah mesjid. Di sebelah kiri ada sebuah menara yang di puncaknya ada tanda salib. Menara itu adalah tempat lonceng gereja. 

Untuk memasuki mesjid kami harus membeli karcis. Harga karcis 8 Euro untuk orang dewasa. Anak-anak di bawah 10 tahun tidak membayar. Petugas di pintu masuk menyapa kami dan bertanya apakah kami dari Malaysia atau Indonesia. Dia mengingatkan agar kami tidak melakukan shalat di dalam mesjid. Si Tengah mengatakan bahwa dia mendapat cerita pernah ada satu rombongan pengunjung yang melakukan shalat di dalam mesjid ini ditegur bahkan diusir petugas. Padahal sebelum itu aku mengatakan bahwa aku juga ingin mengerjakan shalat di dalamnya.

Bangunan dalam mesjid itu masih utuh menunjukkan sebuah mesjid yang megah, dengan tiang-tiang yang kukuh, disertai lengkungan indah di antara dua tiang menuju langit-langit mesjid yang tinggi. Mesjid yang menurut catatan sejarah dibangun pada tahun 785 M ini sangat luas. Hanya saja sekarang penuh dengan ornamen, tanda salib dan hiasan khas gereja Katholik. Ada bagian-bagian yang disekat, dan di dalam ruangan yang disekat itu terdapat patung-patung manusia (orang suci menurut agama Katholik).


Bagian mihrab masih dipertahankan dan dibatasi dengan pagar besi. Kita tidak bisa masuk ke bahagian tersebut. Ada kalighrafi ayat al Quran di dinding dekat mihrab. Hanya bahagian mihrab ini saja yang bebas dari simbol-simbol dan hiasan salib. Kalighrafi ayat al Quran juga terdapat di beberapa bagian dinding yang lain, tapi terlihat kusam. 


Di langit-langit tergantung tempat meletakkan lampu-lampu lililn dengan lilin yang menyala. Aku melamun membayangkan betapa syahdunya mengerjakan shalat di mesjid ini seribu tahun yang lalu. Membayangkan betapa ramainya jamaah umat Islam yang ikut shalat di waktu itu. Menurut catatan sejarah pula, Cordoba adalah pusat budaya dan pengetahuan Islam selama kurun waktu yang panjang beratus tahun. Di sini hadir para ilmuwan Islam terkenal yang menguasai ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu kemaritiman. Banyak mahasiswa yang bukan Islam pun datang belajar ke kota ini. Pusat dari ilmu pengetahuan itu dihimpun di komplek mesjid yang indah ini.

Tapi demikianlah ketetapan Allah, keagungan dan kemuliaan itu dibiarkan Allah runtuh dan bahkan tercerabut sampai ke akar-akarnya. Andalusia yang tadinya merupakan pusat kejayaan Islam, di pertengahan abad ke lima belas dikalahkan oleh agama Katholik. 

Cukup memilukan melihat bukti sejarah yang terhampar di hadapan mata. Aku yang tadinya terlintas keinginan untuk mengerjakan shalat di dalam mesjid ini, terlepas dari larangan petugas penjaga karcis masuk, jadi tidak berminat mengerjakannya karena suasananya yang lebih kental bernuansa gereja. 

Kami tidak berlama-lama di lingkungan mesjid. Jam setengah tujuh kami tinggalkan tempat itu. Tujuan kami adalah kota kecil Ecija, sekitar 60 km dari Cordoba. B telah memesan hotel tempat kami akan menginap sampai hari Sabtu di kota tersebut.

****

Senin, 27 April 2015

Pau

Pau

Keluar dari hotel Riquet kami dibawa berkeliling sedikit di kota Toulouse. Sekedar raun panik. Dan terakhir mampir ke sebuah restoran halal untuk makan siang. Sebuah restoran yang dikelola oleh orang Maghribi (mungkin Aljazair atau Maroko). Setelah itu baru berjalan ke luar dari kota menuju ke Pau, melalui jalan tol (autoroute) no A64. Jarak Toulouse - Pau sekitar 190 km. Jalan tol yang boleh dikatakan sepi. Mobil dapat dipacu sampai kecepatan maksimum yang diijinkan, 130 km per jam. Udara cukup cerah siang ini.

Aku dan menantu yang memegang stir berbincang-bincang apa saja. Mengenai aturan berkendaraan di Perancis yang semakin tertib dengan banyak peraturan. Kecepatan kendaraan diawasi dan ada sangsi berat bagi yang melanggar. Tidak boleh menggunakan hape ketika sedang menyetir, bahkan ketahuan memegang hape saja bisa dianggap melakukan pelanggaran. Pendatang seperti menantu dan si Tengah harus mempunyai SIM, yang untuk mendapatkannya harus melalui ujian teori dan praktek. SIM internasional dari Indonesia hanya diijinkan untuk jangka waktu tertentu. 

Sangat jauh berobah. Ketika aku dulu tinggal di Perancis ini, yang perlu diperhatikan hanyalah asuransi kendaraan yang bukti pembayarannya harus ditempelkan di kaca depan mobil. Aku berbekal SIM internasional waktu itu, tapi tidak sekalipun berurusan dengan polisi. 27 tahun yang lalu, aku mengendarai mobil dari Paris ke Pau dengan kecepatan 140 km per jam. Tiap sebentar kami dibalap oleh Mercedes atau BMW yang berkecepatan mungkin sampai 200 km per jam. Sekarang kecepatan seperti itu akan dikenai sangsi yang berat, menurut menantu. 

Di bangku belakang, nenek sudah mulai agak akrab dengan Fathimah kecil. Fathimah duduk di tempat duduk khusus. Hamizan terpisah sendirian di bangku paling belakang sambil menonton film kartun. Masing-masing harus menggunakan sabuk pengaman. Seandainya Fathimah ingin menyusu, mobil harus berhenti di tempat pemberhentian. Begitu peraturannya.

Setelah berkendara sekitar 2 jam kami sampai di Pau. Aku dulu di tahun 1988 pernah tinggal di kota ini selama 6 bulan. Tapi mobilitasku di kota ini pada waktu itu sangat rendah. Tidak banyak tempat yang aku kenal. Kami akhirnya sampai di tempat tinggal mereka, di sebuah rumah bertingkat dua yang terdiri dari enam bagian dihuni enam keluarga. Bagian rumah tempat tinggal keluarga menantu ini terletak di bagian bawah. Ada ruangan tamu merangkap ruangan keluarga cukup luas, tiga kamar tidur, dapur. Sebuah rumah yang cukup nyaman untuk ditinggali.

Fathimah langsung mau digendong. Mungkin karena dia sudah mengenal wajahku melalui skype. Si Upiak Kecil ini benar-benar adorable. Tersenyum-senyum digendongan. Hamizan, si abang, berkomunikasi dalam bahasa campur-campur bahasa Indonesia dan English. Dia sudah punya vokabulari bahasa Inggeris yang lumayan banyak.

Kami shalat zuhur (dijamak dengan asar) jam setengah empat, masih dalam waktu zuhur. Aku diberi tahu bahwa waktu subuh adalah jam 5.50. Waktu zuhur jam 2 siang. Asar jam setengah enam sore. Berarti shalat subuh kami tadi pagi masih jauh sebelum masuk waktu. Ya, mau apa lagi, kan karena tidak tahu. 

Waktu maghrib jam 9 malam. B, sang menantu mengajakku untuk shalat ke mesjid. Mesjid itu sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumah kalau kita berjalan kaki. Tapi kalau menggunakan mobil harus berputar agak jauh. Menurut B, jaraknya sekitar 10 menit kalau jalan kaki atau 7 menit kalau naik mobil. Kami pergi dengan mobil. Mesjid itu rupanya satu-satunya di kota Pau. Jamaah shalat maghrib cukup banyak. Ada sekitar seratus orang dalam tiga shaf lebih. Umumnya bertampang maghribi.

Aku menjamak shalat dengan isya.  Pulang dari mesjid, sudah jam setengah sepuluh. Aku sudah sangat mengantuk dan langsung masuk kamar untuk tidur. 

****

Minggu, 26 April 2015

Bertemu Dengan Cucu-cucu

Bertemu Dengan Cucu-cucu

Jadwal perjalanan kami beriringan dengan jadwal besan. Mereka berdua telah berada di Pau sejak tanggal 15 yang lalu, dan sebelumnya sudah singgah di Amsterdam mengunjungi puteri pertama mereka di sana. Tanggal 25 kemarin, mereka berangkat melalui Toulouse untuk kembali ke Jakarta melalui Amsterdam lagi. Pagi-pagi mereka berangkat dari Pau diantar anak, menantu dan cucu-cucu langsung ke bandara Toulouse. Setelah itu barulah kami dijemput ke hotel.

Waktu baru sampai di hotel Riquet kemarin sore, kami ditanya apakah akan menggunakan internet. Padahal fasilitas ini dinyatakan tersedia dan bebas biaya di brosur mereka waktu aku memesan tempat melalui internet. Tentu saja aku jawab bahwa aku memerlukannya. Kepadaku diberikan secarik kertas dengan informasi untuk masuk jalur internet. Sampai di kamar aku coba membuka internet. Dan tidak berhasil. Aku turun lagi ke lobi hotel. Perlu sedikit utak-utik sebelum Ipadku terhubung ke internet. Aku berterima kasih dan kembali ke kamar. Aku coba menghubungi si Tengah melalui skype. Tidak tersambung. Coba menghubungi si Bungsu di Jatibening.  Tidak tersambung juga. Aku cek, ternyata sambungan ke internet terputus. Artinya, di kamar ini tidak ada wifi.

Karena sudah capek, aku malas untuk turun lagi ke lobi. WA juga tidak berfungsi dan kami tidak tahu kenapa. Malam itu sesudah shalat isya, sekitar jam setengah sepuluh kami langsung tidur.

Aku terbangun jam empat pagi.  Aku menebak saja bahwa waktu subuh mungkin sekitar jam setengah lima. Dan pada jam tersebut kami shalat subuh. Sehabis shalat  istriku membuat teh. Kami minum teh dan sarapan dengan roti.

Jam setengah delapan telepon hotel di kamar berdering. Ternyata dari si Tengah. Dia menanyakan keadaan kami, kenapa tidak ada kabar apa-apa dari kemarin sore. Aku jawab bahwa semua sarana komunikasi kami macet. Rupanya tadi malam jam setengah sebelas dia juga menelpon. Kami sudah terlelap waktu itu. Dia memberi tahu bahwa mereka sudah dalam perjalanan menuju Toulouse untuk mengantar Akung dan Uti dan setelah itu menjemput kami. Diperkirakan mereka akan sampai di bandara sekitar jam sembilan dan di hotel kami sesudah jam sepuluh.

Aku turun ke lobi untuk mengecek wifi lagi. Ternyata wifi hanya berfungsi di sekitar lobi itu saja. Di bawah sana Ipadku dapat digunakan dengan baik. Aku menghubungi si Bungsu melalui skype.  Setelah itu kembali menghubungi si Tengah juga dengan skype. Mereka sudah berada di bandara.

Waktu aku kembali ke kamar, istriku sudah selesai mengemasi barang-barang kami. Baru jam setengah sepuluh. Kami berbaring saja leyeh-leyeh. Aku coba menyalakan tv ternyata tidak tahu bagaimana memilih channel. Setiap dicoba memencet nomor channel tertulis bahwa channel tidak tersedia. 

Jam setengah sebelas pintu kamar diketok.  Aku menghambur mendekati pintu dan membukanya. Di sana berdiri menantu, si Tengah, Hamizan. Fathimah, si Upiak Kecil tertidur di kereta dorongnya. Subhanallah..... Alhamdulillaah..... Kami akhirnya berjumpa dengan cucu.

Istriku langsung memeluk Hamizan. Fathimah terbangun. Waktu mau diambil oleh nenek, dia menangis. Iyalah, orang belum pernah bertemu. 

Kami segera turun untuk check out dan meninggalkan hotel. 

*****

Sabtu, 25 April 2015

Paris Charles de Gaulle Menuju Pau

Paris Charles de Gaulle Menuju Pau

Dengan pertimbangan ketersediaan pengangkutan dari Bandara CdG Paris menuju Pau yang sesuai dengan waktu yang tepat dan biaya yang tidak terlalu mahal, pilihan akhirnya jatuh ke kereta api TGV. Sayangnya kereta api ini hanya ada sampai ke kota Toulouse, masih sekitar 190 km dari Pau. Dan kami harus berganti kereta di Bordeaux. Kami akan menginap di hotel satu malam di Toulouse dan setelah itu menantu serta anak dan cucu akan menjemput kami ke sana.

Setelah mengambil bagasi, kami mendorong troli bawaan menuju stasiun TGV yang terletak beberapa ratus meter saja. Cukup ramai manusia di ruang tunggu. Hari baru jam setengah delapan, sedangkan kereta api kami jadwalnya jam 10.16. Masih dua setengah jam lebih lagi. Ada monitor tv yang menayangkan jadwal dan tujuan kereta yang akan berangkat pagi itu, serta di jalur berapa masing-masingnya akan berangkat. Kami menunggu dengan santai. Sayangnya wifi di tempat itu juga tidak bekerja normal. Aku bertanya kepada seorang yang sedang membuka internet, wifi mana yang dia pakai. Wifi aeroport yang dia katakan, sudah dideteksi oleh Ipad ku tapi internet tidak bisa dibuka. Entah aku yang gaptek, entah memang ada yang tidak beres. 

Kira-kira jam sembilan lebih, aku mencari informasi di jalur mana kereta api yang akan kami tompangi akan berangkat. Petugas yang aku tanya, mengatakan bahwa itu hanya akan diketahui 20 menit sebelum berangkat. Dia mengingatkan agar memperhatikan nanti apakah harus melalui gerbang utara atau selatan, agar tidak keliru. Jarak antara kedua gerbang itu sekitar 20 meter. 

Informasi mengenai jalur itu akhirnya muncul di monitor tv, jam sepuluh kurang. Kami harus pergi ke jalur 6 gerbang selatan. Kami turun satu level dari ruang tunggu. Ada lift untuk turun. Aku mendorong troli kami menuju jalur tersebut. Aku bertanya lagi kepada seorang petugas kereta api, di mana kira-kira posisi gerbong nomor 13 dan dia menunjukkannya. Kami melangkah menuju tempat itu. Beberapa menit kemudian kereta api itu datang. Aku segera mengangkat bagasi kami dan meletakkannya di tempat bagasi sebelum mencari tempat duduk. Semua berjalan aman-aman saja. Wagonnya bagus dan bersih.

Kereta itu berangkat jam 10.20. Aku yakin betul bahwa waktu itu bukan jam 10.16 seperti jadwal. Kecepatan kereta sepertinya juga biasa-biasa saja, bukan grand vitesse, atau kecepatan tinggi. Ah mungkin karena ini masih di daerah perkotaan. Baru kira-kira sepuluh menit jalan, kereta itu berhenti di stasiun berikutnya. Yang menarik perhatianku adalah kesenyapan jalannya. Tidak ada bunyi berdengkang-dengkang seperti biasanya bunyi roda kereta api di negeri kita. Berangkat lagi, dan hanya beberapa menit kemudian berhenti lagi. Setiap kali akan berhenti ada pemberitahuan dalam bahasa Perancis diikuti dalam bahasa Inggeris. 

Perjalanan dilanjutkan. Aku tetap belum merasakan kecepatan kereta ini istimewa. Maksimum mungkin hanya sekitar 150 km per jam. Di mana grand vitesse nya? Tiba-tiba, setelah kami berjalan sekitar dua jam, kereta itu berhenti di suatu tempat yang bukan stasiun. Ada pengumuman dalam bahasa Perancis memberi tahu bahwa ada kerusakan di bagian elektronik. Ternyata bisa juga, ya? Perjalanan itu terhenti sekitar 20 menit. Padahal sebelumnya juga pernah berhenti agak lama di sebuah stasiun. Aku tidak terlalu memperhatikan pemberitahuan sebelumnya. 

Akhirnya masalah itu teratasi. Kereta api itu kembali bisa berjalan dan rasanya kali ini lebih cepat dari sebelumnya. 

Aku bertanya-tanya, bagaimana dengan pergantian kereta di Bordeaux nanti akibat keterlambatan ini. Aku menanyakannya ke petugas kereta. Dengan tenang dia memberi tahu, bahwa akan ada kereta berikutnya untuk kami.   Semua akan diatur, jawabnya. 

Para penumpang mendapat kotak makanan gratis akibat keterlambatan ini. Diumumkan pula, penumpang akan mendapat pengembalian biaya perjalanan minimal 25% karena keterlambatan lebih dari 30 menit. Ternyata keterlambatan kereta api ini mencapai 80 menit. Rupanya memang sudah ada masalah sejak berangkat dari bandara tadi.  Kami sampai di stasiun Bordeaux St. Jean jam 4 sore, dari jadwal sebelumnya jam 2.37. 

Ada hikmah paling positif bagi kami akibat kerusakan dan keterlambatan kereta api ini. Menurut jadwal, kami hanya punya waktu 10 menit untuk pindah kereta di Bordeaux. Pindah kereta yang ternyata bukan sesuatu yang sederhana. Kami harus menurunkan keempat koper dengan tolal berat lebih dari 60 kilo dari kereta yang satu, turun melalui tangga yang lumayan tinggi, tidak ada tangga berjalan atau lift, naik lagi ke jalur lain untuk kereta berikutnya. Waktu 10 menit aku pastikan tidak akan cukup untuk manuver tersebut. 

Alhamdulillah, sekarang kami punya waktu 45 menit untuk menunggu kereta pengganti. Sebelumnya aku harus melapor dan mengganti karcis di kantor SNCF yang terletak lumayan jauh dalam bangunan stasiun yang lumayan besar. Dengan menunjukkan karcis (e-tiket), aku segera mendapat tiket pengganti di kereta jurusan Marseille yang akan berangkat jam 4.47. Jalurnya juga akan diberitahu 20 menit sebelum berangkat. 

Aku benar-benar keletihan mengangkat koper-koper itu turun naik tangga. Tidak ada tangga berjalan.  Alhamdulillah ada seorang anak muda yang membantu kami. Mungkin dia kasihan melihat istriku yang tertatih-tatih mengangkat koper yang lebih kecil. Ternyata kami salah naik tangga pula, antara utara dan selatan. Terpaksa menarik koper-koper itu lumayan jauh ke gerbong. Sekali lagi alhamdulillah, ada seorang laki-laki lain yang membantu menaikkan koper- koper itu ke kereta. 

Kereta api itu berangkat menuju Toulouse. Dengan kecepatan lumayan tinggi. Jam 6.48 kami sampai di stasiun Mitabea Toulouse. Hotel kami terletak 400 meter dari stasiun. Kami berjalan kaki ke sana. Dengan menarik koper-koper kami menyeberangi jalan. Koper-koper yang terasa semakin berat saja. 

Perjalanan istimewa melelahkan itu akhirnya selesai sampai di hotel. Hari sudah jam setengah delapan tapi masih terang benderang.  Kami shalat maghrib dan isya jam sembilan. Dan setelah itu langsung tidur karena terlalu lelah.

*****

Jumat, 24 April 2015

Perjalanan Menengok Cucu

Perjalanan Menengok Cucu 

Perjalanan ini sudah direncanakan sejak beberapa bulan yang lalu. Waktunya dipilih setelah berlalunya musim dingin di Eropah. Tiket pesawat dicari melalui internet. Pilihan akhirnya jatuh ke Vietnam Airlines dengan biaya Rp 21 juta untuk dua orang dalam perjalanan Jakarta - Ho Chi Min City - Paris pulang pergi. Biaya yang lumayan murah, meski pernah ada tawaran yang lebih murah tapi luput dari pemesanan. 

Sempat juga dipelajari reputasi Vietnam Airlines ini melalui Google. Ternyata cukup meyakinkan dan tidak perlu dikhawatirkan. Penerbangan ini membawa penumpangnya ke banyak tempat di Eropah, Amerika dan Australia. Mungkin lebih lincah dari Garuda. Sebelum hari keberangkatan, sudah dipesan melalui Biro perjalanan untuk mendapatkan makanan halal selama penerbangan. Hal ini hanya bisa dilakukan melalui biro tersebut karena kantor Vietnam Airlines di Jakarta tidak bisa dihubungi. Masih agak khawatir juga bahwa permintaan ini tidak akan dipenuhi. Seandainya tidak disediakan, apa boleh buat, kita akan menghindari sajian daging apa saja kecuali ikan. Bila perlu kita akan makan nasi atau roti saja.

Hari keberangkatan itupun datang. Hari Kamis tanggal 23 April. Kami diantar si Bungsu dan si Sulung plus cucu paling kecil anak si Sulung. Berangkat jam 9 pagi dari rumah. Jalan yang dikhawatirkan akan macet karena pertemuan Asia Afrika, ternyata sangat lancar. Kurang jam sebelas kami sudah sampai di Bandara Soeta. Langsung masuk untuk check in. Proses check in lancar. Bagasi kami seberat 61 kg, sebagian besar pesanan si Tengah berupa bahan makanan terdiri dari 4 potong (tiga koper plus satu kotak berisi kado mainan untuk cucu) tidak ada masalah. Kami berpisah dengan si Sulung, si Bungsu dan Adek (yang terbingung-bingung) dan langsung menuju pemeriksaan imigrasi.

Pesawat Vietnam Airlines tujuan Ho Chi Min City itu berangkat tepat waktu. Sempat agak antri untuk take off dibelakang beberapa pesawat Garuda. Setelah mengudara, seorang pramugari datang menghampiriku dan menanyakan apakah aku memesan halal food. Dia rupanya melakukan pengecekan untuk konfirmasi. Ternyata kami yang pertama mendapatkan suguhan makanan dengan label Moslem Food. Alhamdulillah. 

Di pesawat ini banyak ibu-ibu Indonesia berjilbab. Penumpang pesawat Airbus A321 ini kebanyakan memang orang Indonesia. 

Jam setengah lima sore kami mendarat di Bandara kota Ho Chi Min City. Kami akan menunggu sampai jam setengah sebelas malam untuk lanjut dengan penerbangan menuju Paris. Tadinya terpikir untuk sedikit melancong di kota ini. Kami bertanya di kaunter informasi bandara, sambil memberi tahu bahwa kami punya sekitar 5 jam sebelum melanjutkan penerbangan, apakah memungkinkan untuk pergi keluar. Petugas itu menyarankan agar menanyakan ke petugas imigrasi. Sepertinya dia tidak merekomendasikan rencana tersebut. Akupun jadi ragu pula untuk keluar. Dia memberi kami dua lembar kupon untuk makan malam gratis di restoran di tingkat tiga bangunan bandara, karena waktu tunggu yang lama itu. 

Akhirnya kami duduk saja menunggu di bandara tersebut. Kami shalat maghrib dan isya di dekat pintu tangga darurat. Sayang wifi di bandara itu tidak berfungsi dengan baik. Kami tidak bisa berkomunikasi dengan anak-anak.

Jam sembilan kami masuk ke ruangan tunggu. Berangsur-angsur calon penumpang bertambah banyak. Sebagian besar orang-orang berbahasa Perancis. Banyak di antara turis Perancis itu membawa topi 'caping gunung' dari anyaman bambu. Topi yang dulu dipakai tentara Vietcong ketika berperang melawan Amerika.

Pesawat tujuan Paris inipun berangkat tepat waktu. Kali ini jenis Boeing 777. Di kelas ekonomi ini ada 9 tempat duduk dalam satu baris yang terdiri dari masing-masing 3 bangku. Kami ditempatkan pada bangku terpisah (dipisahkan gang). Di sebelah sana ada sepasang suami istri orang Perancis, dan di sebelah sini juga sepasang suami istri orang Vietnam. Jadi tidak mungkin kami minta bertukar tempat.

Seperti tadi dari Jakarta, kali ini seorang pramugara juga datang melakukan pengecekan pesanan makanan halal. Dan seperti tadi juga, kami yang paling awal mendapat sajian makan malam. Hal ini perlu diacungi jempol. 

Setelah makan malam aku berusaha tidur. Jam empat aku dibangunkan istri karena alarm hapeku berbunyi. Saat itu masih jauh sebelum waktu subuh. Setelah  mematikan alarm aku kembali tidur. Jam delapan waktu Jakarta, aku terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Padahal masih malam, mungkin masih jam empat waktu di posisi itu. Kami shalat subuh jam 9 waktu Jakarta. 

Masih ada acara makan lagi setelah itu. Pesawat itu mendarat jam 6.40 di bandara Charles de Gaulle Paris. Ketepatan waktu yang sangat lumayan, karena jadwal kedatangan harusnya jam 6.30. 

Setelah melalui imigrasi dan mengambil bagasi, kami keluar menuju stasiun kereta api SNCF. Kami akan naik kereta TGV menuju Toulouse via Bordeaux.

*****

Rabu, 22 April 2015

Allah Akan Menguji Kesungguhan Dan Komitmen Kita (Dari Dakwatuna.com)

Allah Akan Menguji Kesungguhan dan Komitmen Kita

Oleh: Sri Kusnaeni, S.TP. ME.I - 27/03/15 | 18:48 | 08 Jumada al-Thanni 1436 H



dakwatuna.com - Tiap peristiwa dalam jenak kehidupan ini sesungguhnya tidak pernah sepi dari hikmah dan pelajaran yang ingin Allah berikan kepada kita. Apa yang sudah yakini, kita ucapkan dan kita dakwahkan, akan dilihat Allah sejauh mana komitmen dan kesunggguhan kita dalam mengamalkannya. Kita akan diuji kesabarannya, sehingga Allah melihat siapa diantara hamba-hambanya yang bersungguh sungguh dan bersabar.

Tengoklah kembali firman Allah swt di suarat Al-Ankabut ayat 2 “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya mengatakan kami telah beriman (dalam makna yang luas, meyakini suatu prinsip, nilai, pelajaran dan arahan dari Allah dan Rasulnya) dan mereka tidak di uji?“

Ketika hari ini kau telah mengajarkan besarnya nilai ketaatan istri kepada suami, sebagai seorang istri dalam waktu dekat engkau akan bertemu dengan kesempatan dimana engkau diminta melakukan sesuatu untuk mentaati suamimu, mungkin dalam hal yang terasa berat untuk melaksanakannya, karena begitu padatnya hari harimu dengan aktivitas lain.

Ketika hari ini kau telah mengajak orang lain untuk memiliki sikap dermawan dan gemar memberi , bersedekah, berinfaq, boleh jadi dalam selang waktu yang tidak berbilang, tiba tiba kau didatangi tetangga yang ingin meminjam uang keperluan yang mendesak.

Ketika dalam ceramahmu tadi telah mengajak jamaah untuk mendisiplinkan diri dengan shalat tepat waktu dan berjamaah, tanpa di rekayasa dan direncanakan olehmu, mungkin saat adzan berkumandang, tiba-tiba datang telpon, sms, atau wa yang berisi pesanan bisnis yang harus segera direspon.

Saat tetanggamu meminta nasehat agar bisa bersabar dalam mendidik anak, dan dengan lancar dari lisanmu meluncur nasehat nasehat bijak dan kiat bagaimana bersabar menghadapi berbagai tingkah anak, sangat mungkin sepulang sekolah anak kita tiba tiba membuat ulah yang membangkitkan emosi kita.

Saat dalam status Fb mu telah mengajak untuk menjadi pribadi yang gemar tersenyum pada saudara dan tidak suka cemberut, akan sangat mungkin dalam beberapa jam ke depan akan bertemu dengan seseorang yang selama ini telah membuat kita kesel hati.

Saat di depan murid-muridmu engkau telah mengajak mereka untuk selalu berbuat baik kepada orang tua/birrul waalidain. Tak disangka tiba tibamu orang tua menelpon minta dianter ke dokter, padahal saat itu mungkin engkau sedang terburu-buru mengejar satu jadwal kajian.

Dan seterusnya dan seterusnya, banyak moment dan kejadian yang Allah hadirkan untuk kita bisa membuktikan kesungguhan dan komitmen terhadap suatu kebaikan. Ibaratnya, sebelum orang lain merasakan “beratnya” kebaikan, Allah ingin agar engkau merasakan dahulu pengalaman itu. Sampai kebaikan kebaikan itu bisa menjadi akhlakmu yang kokoh. Maka jika engkau lulus, bukan berarti juga pelajaran pelajaran lain tidak akan berdatangan kembali, ia akan terus hadir mengisi kehidupanmu, hingga kehidupan ini telah berpindah ke bumi (kuburan).

Suatu kali, seorang ulama diminta berkhutbah membahas tentang keutamaan membebaskan budak. Permintaan pertama kedua, dan berikutnya tidak mau dipenuhi oleh ulama tersebut, sampai pada suatu saat ulama tersebut baru meng iya kan untuk berkhutbah dengan tema membebaskan budak. Ketika ditanya alasannya , kenapa baru kali beliau meng-iya-kan dan tidak dari kemarin kemarin, ulama tersebut menjawab bahwa “saya belum pernah membebaskan budak, maka saya tanya untuk berbicara tentang keutamaan membebaskan budak. Hingga saya berpikir untuk bisa menabung agar bisa membebaskan budak. Dan saat ini saya telah berhasil membebaskan seorang budak, maka saya berani untuk menyampaikan tema tersebut.

Secara fitrah, memang kita akan merasa berat, bahkan boleh jadi lidah menjadi kelu, saat harus menyampaikan tentang sesuatu yang kita sendiri belum mengamalkannya. Ada beban psykologis yang menggelayut. Memang ada tema yang harus kita sampaikan meski kita belum pernah merasakan dan mengamalkannya, yakni tema tentang “kematian”. Dengan ujian-ujian tersebut di atas, sesungguhnya Allah menginginkan agar kita banyak latihan, sehingga nilai suatu konsep yang kita dakwahkan, benar benar telah menginternal di dalam diri ini. Makin banyak latihan, makin mengokohkan dan menghunjamkan konsep kebaikan di dalam diri. Maka bersyukurlah seseoang yang senantiasa mengajak orang lain untuk mengajak kebaikan, karena itu berarti akan banyak latihan yang Allah berikan kepadanya, sehingga makin mahir mengoperasikan diri untuk hidup dalam kebaikan. Wallahu a’lam.

****

Minggu, 19 April 2015

Macam-macam Sabar

Macam-macam Sabar (Pengajian Kami Pagi Ini Di Mesjid Al Husna)

Pernah kita mendengar orang mengatakan; 'Sudah hilang kesabaranku,' atau  'Sabar itu ada batasnya,' atau 'Tidak bisa aku terus-terusan bersabar,' dan sebagainya. Benarkah demikian? Padahal sabar adalah suatu sifat yang sangat terpuji di sisi Allah. Berbahagialah orang yang mampu mengendalikan dirinya agar bisa tetap bersabar. Dan Allah mengingatkan, 'Beri kabar gembiralah orang-orang yang sabar! Yaitu orang-orang yang jika mereka ditimpa musibah, mereka berkata, 'Kami datang dari Allah dan kepada-Nya kami akan kembali.' (Al Baqarah, ujung akhir ayat 155 dan ayat 156). 

Artinya Allah nanti akan membalas kesabaran itu dengan pahala dan keridhaannya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Ali bin Abi Thalib berkata, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Ada tiga macam sabar: sabar ketika menderita, sabar dalam ketaatan, dan sabar untuk tidak berbuat maksiat.'

Hal ini yang kami dengar uraiannya ba'da shalat subuh pagi ini.

Sabar ketika mendapat musibah adalah yang paling rendah nilainya di antara ketiga jenis kesabaran. Hal ini jadi wajar karena memang bersabarlah tindakan yang paling baik ketika kita mendapat ujian berupa musibah. Entah itu ditinggal mati orang yang kita cintai, atau kehilangan milik yang berharga, atau kerusakan pada harta benda. Karena kalau kita tidak sabar pun musibah yang sudah terjadi itu tidak mungkin kita hindarkan lagi. Tidak mungkin kita jadikan dia seperti sebelum tertimpa musibah. 

Ada pula ujian kesabaran dengan musibah berupa hilangnya atau dirongrongnya kewibawaan seseorang. Misalnya istri yang suka melawan, anak yang suka mendurhaka, tetangga yang suka memfitnah, lingkungan yang tidak bersahabat. Dalam hal seperti ini disamping kesabaran menahan perasaan juga diperlukan usaha dan kesabaran untuk mendakwahi atau sekurang-kurangnya mengingatkan mereka yang merongrong kewibawaan tersebut secara santun.  

Sabar yang kedua adalah sabar dalam ketaatan terhadap perintah-perintah Allah. Ketika Allah perintahkan untuk beribadah kepada-Nya kita patuh dan taat, dan istiqamah dalam kepatuhan itu. Sabar dalam keistiqamahan ini yang mempunyai nilai lebih tinggi. Sabar untuk senantiasa mendatangi panggilan azan. Sabar dalam menghitung dan mengeluarkan sendiri zakat setiap jatuh temponya. Sabar dalam mengerjakan ibadah di bulan Ramadhan. Sabar untuk memenuhi panggilan Allah untuk menunaikan haji. Sabar ketika diseru untuk berjihad pada jalan Allah. Dan seterusnya. 

Sabar yang paling tinggi nilainya adalah sabar untuk tidak berbuat maksiat. Seseorang yang diberi amanah untuk memimpin. Diberi pangkat dan jabatan. Kemudian dengan jabatannya itu datang godaan untuk bermaksiat secara bertubi-tubi. Untuk menerima sogokan dalam bentuk apa saja. Lalu dia mampu menghindar dari semua itu. 

Atau seorang anak muda yang pergi merantau, lepas dari pengawasan orang tuanya. Di perantauan dia menemukan banyak sekali godaan untuk melakukan kemaksiatan. Semuanya aman untuk dikerjakannya karena jauh dari pandangan orang tua dan orang-orang yang diseganinya selama ini. Tapi dia sanggup menahan diri, bersabar tidak berbuat maksiat. Inilah kesabaran yang paling tinggi nilainya. 

Mudah-mudahan kita mampu meningkatkan kesabaran dalam mencari ridha Allah.

****

Selasa, 14 April 2015

Persiapan Sebuah Perjalanan

Persiapan Sebuah Perjalanan

Cucu kelima lahir di negeri orang, dibalik bumi, beribu kilometer dari Indonesia. Cucu perempuan pertama, diberi nama Fathimah oleh orang tuanya. Lahir tanggal 12 Agustus 2014. Kalau keempat abang-abangnya, ketika bayi rajin dibacakan al Quran sambil digendong, maka si Upiak Kecil ini tidak dapat merasakan hal yang sama. Beruntung karena ada hasil karya anak manusia moderen yang bernama skype, jadi kami bisa bertemu (gambar hidup) Fathimah setiap saat yang diinginkan. Tapi tetap saja belum memuaskan hati nenek dan inyiak karena belum bisa menggendongnya.  

Sebuah kunjunganpun dirancang. Dicari hari baik ketika yang elok. Hari baik, ketika cuaca sudah tidak lagi dingin membeku di negeri orang itu. Disesuaikan pula dengan jadwal libur kakaknya Fathimah, si Hamizan. Dan tanggal yang dipilih adalah 23 April.

Jauh hari sebelumnya sudah disurvai harga tiket pesawat Jakarta - Paris - Pau pulang pergi. Dengan memanfaatkan jasa internet. Ada sebuah biro perjalanan on line yang menawarkan tiket semua penerbangan ke Eropah. Nusatrip namanya. Dengan memasukkan kota asal dan kota tujuan, kita akan mendapatkan informasi tentang harga tiket yang paling murah untuk hari yang dipilih. Aku mengamati fluktuasi harga tiket tersebut beberapa hari. Ternyata dengan menambahkan rencana perjalanan Paris - Pau - Paris harga tiketnya lumayan mahal dan pilihan penerbangannya tidak banyak. Akhirnya aku putuskan untuk mencari tiket Jakarta - Paris - Jakarta saja. 

Harga paling murah untuk 2 orang pulang pergi berkisar di antara Rp 20 juta. Yang paling mahalnya, dalam daftar yang sama bisa mencapai di atas Rp 100 juta. Aku tentu mencari yang paling murah saja. Perusahaan penerbangan yang berada pada posisi paling murah ini berganti-ganti dalam beberapa hari. Pernah Lufthansa (Jerman) yang paling murah. Pernah Qatar, pernah Malaysia Airlines, lalu KLM. Qatar pernah mematok harga sekitar Rp 18 juta selama beberapa hari. Sudah hampir aku beli tapi masih ditunda-tunda. Sampai suatu hari anakku menanyakan apakah sudah jadi memesan tiket Qatar Airlines. Aku bilang belum. Kata anakku, hari ini harga murahnya itu berakhir. Aku segera memeriksa harga. Ternyata terlambat. Harga dan perusahaan yang paling murahnya sudah bertukar. 

Setelah mengamati lagi beberapa hari berikutnya, akhirnya aku mendapatkan tiket Vietnam Airlines seharga Rp 21 juta. Lho, kok Vietnam Airlines? Ya, kenapa tidak. Itu yang termurah dan pesawatnya juga Boeing 777 seperti di penerbangan lain. Pokoknya kita serahkan saja kepada Allah. Dan rencananya kami akan terbang via Ho Chi Min City. 

Persiapan lain adalah uang bekal perjalanan. Sebulan yang lalu aku beli beberapa Euro yang kursnya waktu itu sekitar Rp 14500. Khawatir rupiah akan lebih anjlok lagi karena saat itu memang harganya sedang terpelanting-pelanting melawan dolar Amerika. Tapi, ternyata dalam penukaran uang ini aku 'kalah' lagi. Saat ini harga Euro itu hanya Rp 13700. Ya, mau apa lagi? Begitu memang adanya.

Tinggal menghitung hari sebelum berangkat. Mudah-mudahan Allah mengijinkan dan memudahkan perjalanan itu nanti.

****                                                  

Senin, 13 April 2015

Berusaha Untuk Istiqamah Dalam Beribadah

Berusaha Untuk Istiqamah Dalam Beribadah 

Seorang teman menyatakan betapa ia ingin mampu bertahan menjalankan shalat berjamaah di mesjid, terutamanya shalat subuh. Dia ingin sanggup istiqamah. Tapi setiap kali, dia mendapatkan betapa dirinya sangat lemah untuk dapat melaksanakannya. Dan pernah dia bertanya bagaimana caranya mengatasi kelemahan tersebut. Aku menjawab agar dia berniat dan bersungguh-sungguh dalam usahanya. Berdoa dan meminta kepada Allah sebelum tidur agar di pagi hari nanti diberi kekuatan dan kesanggupan untuk bangun sebelum masuk waktu subuh.

Istiqamah artinya sanggup bertahan mengerjakan sesuatu (amalan). Untuk istiqamah dalam beribadah memang tidak mudah. Ada-ada saja halangan dan rintangannya. Apalagi kalau harus dilakukan dalam waktu panjang dan bahkan terus menerus. Ada orang yang mampu istiqamah dalam melakukan shalat berjamaah di mesjid. Karena yang demikian itu sangat dianjurkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ada orang yang istiqamah melakukan puasa sunnah hari Senin dan Kamis. Ada orang yang istiqamah dalam menyantuni anak yatim atau orang miskin. Dan sebagainya.

Kebalikannya ada juga orang yang istiqamah dalam berbuat maksiat. Istiqamah dalam berbohong. Istiqamah untuk menipu. Berbeda dengan beristiqamah dalam berbuat baik yang sulit direalisasikan, istiqamah dalam berbuat maksiat rasanya enteng-enteng saja mengerjakannya. Keistiqamahan dalam hal seperti ini tentulah sangat memprihatinkan. Karena dia akan menerima ganjaran buruk dari Allah atas segala kejahatannya itu nanti di akhirat. 

Untuk istiqamah dalam beramal shalih diperlukan niat yang diiringi dengan usaha yang sungguh-sungguh. Misalnya saja untuk istiqamah dalam mengerjakan shalat subuh berjamaah seperti bahasan pertama tadi. Di samping niat, jelas sangat diperlukan kesungguh-sungguhan. Terasa berat ketika harus  bangun sebelum dikumandangkan azan subuh. Tapi harus dicoba dan dilatih. Bagi yang sudah terlatih akan terasa suatu kenikmatan tersendiri. Bahkan terasa rugi kalau sekali waktu tidak bisa hadir shalat subuh berjamaah ke mesjid. Begitu pula dengan shalat fardhu lainnya. 

Keistiqamahan dalam mengerjakan amalan-amalan sunnah juga sangat dianjurkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.  Amalan yang ringan tapi dikerjakan dengan konsisten dan terus menerus (istiqamah) lebih baik dari amalan berat yang hanya dikerjakan sekali-sekali. 

Mudah-mudahan Allah senantiasa memberi kemudahan kepada kita untuk istiqamah dalam beribadah kepada-Nya. Aamiin.

****                                           

Selasa, 07 April 2015

Jodoh

Jodoh  

Suatu ketika, seorang remaja wanita datang meminta nasihat kepadaku. Anak muda sekarang menyebutnya 'curhat'. Mencurahkan isi hatinya. Dia sedang jatuh cinta. Sesuatu yang sangat alami. Tapi ada masalah. Orang tuanya tidak setuju dengan laki-laki yang diinginkannya. Apa masalahnya? Menurut penilaian sang orang tua, anak laki-laki itu kurang baik, agak rembang mata, tidak taat beragama, dan sepertinya kurang dewasa. Bagaimana orang tuanya tahu? Karena mereka memang saling kenal, dan kebetulan setempat kerja. 

Aku bertanya, apakah yang dikatakan orang tuanya itu menurut dia benar? Si remaja ini terlihat ragu-ragu. Tapi akhirnya mengakui bahwa sebagian dari yang dikatakan orang tuanya itu benar. Bagian mana, aku bertanya lagi. Dia jarang mengerjakan shalat. Bulan puasa sering tidak puasa. Dalam pergaulan seringkali terlihat egois. Begitu penjelasannya. Tentang rembang mata? Ya, biasalah, anak-anak muda sekarang kan gaul. Kesana ramah, kesini ramah, tapi isi hatinya sendiri sulit ditebak.

Kalau begitu apa yang menarik dari dirinya? Aku lanjutkan bertanya. Dia tampan dan gagah, sudah mapan secara keekonomian dan katanya dia juga menyayangi aku, jawab si remaja. Lalu apa yang kamu harapkan dari saya, aku bertanya. Tolonglah nasihati saya, apa yang harus saya lakukan untuk memperbaiki dirinya agar penilaian orang atas dirinya berubah. Apa yang sudah pernah kamu lakukan untuk itu? tanyaku pula. Dia jawab, saya mengingatkannya untuk shalat atau untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Namun dia tidak senang diingatkan seperti itu. Dia bilang bahwa dia tidak mau diatur-atur.

Aku lalu menasihatinya untuk memohon kepada Allah. Meminta pertolongan Allah. Berdoalah dengan merendahkan diri, dengan penuh harap tapi tidak mendikte Allah. Kalau kamu memohon kepada Allah dengan doa, 'Ya Allah, jadikanlah dia jodohku, aku ingin dia jadi suamiku ya Allah.....' Maka doa seperti ini mendikte namanya. Tapi memohonlah misalnya dengan untaian seperti..... 'Ya Allah Engkau Yang Maha Mengetahui segala urusan. Engkau mengetahui bahwa hamba jatuh hati kepada si Fulan. Ya Allah seandainya dia dengan izin Engkau akan menjadi jodoh yang baik bagi hamba untuk dunia dan akhirat hamba di bawah keridhaan-Mu ya Allah, maka mudahkanlah hubungan hamba dengannya. Akan tetapi seandainya dia dalam kekuasaan-Mu tidak akan menjadi jodoh yang baik bagi hamba untuk dunia dan akhirat hamba, maka hindarkanlah dia dari hamba dan gantilah untuk hamba jodoh yang lebih baik di bawah keridhaan-Mu.'

Si remaja ini tercenung dengan nasihat itu. Alhamdulillah, dia menyetujuinya dan berjanji akan memohon kepada Allah seperti itu.

Beberapa tahun kemudian aku mengetahui bahwa dia mendapat jodoh bukan si Fulan yang dinginkannya mula-mula. Ketika bertemu dengannya (bersama suaminya) dia mengucapkan terima kasih atas nasihatku dulu itu. 

****