Kamis, 27 Februari 2014

Hujan, Banjir Dan Jalan Rusak

Hujan, Banjir Dan Jalan Rusak 

Inilah trio yang selalu datang dengan teratur setiap tahun di negeri kita. Terlebih-lebih di Jakarta dan kota-kota sepanjang pantai utara Jawa. Atau bahkan di tempat lain. Datangnya musim hujan adalah kepastian dalam sunatullah. Hujan yang sedianya jadi rahmat, karena dengan air hujan itu jadi subur tanam-tanaman. Yang nantinya untuk dikonsumsi manusia dan hewan ternak. Air hujan yang turun ke bumi itu mengalir dan sebagian meresap ke dalam tanah. Yang mengalir di permukaan mencari tempat yang kerendahan dan berakhir di muara, di laut lepas.  

Banjir adalah tumpahan air yang mencari tempat kerendahan itu dalam volume besar. Volume sangat besar ketika curah hujan sangat tinggi (dengan izin dan kuasa Allah Ta'ala) sementara permukaan bumi yang  berbukit-bukit tidak mempunyai cukup pohon-pohonan untuk menahan sebagian dari air itu. Disini terlibat campur tangan manusia ketika mereka menggunduli bukit-bukit yang dilakukan dengan ceroboh.  

Air yang sudah tidak ada yang menahan, lalu menerjang dengan kekuatan dahsyat adalah sunatullah jua. Manusia seyogianya dapat belajar dari alam. Alam terkembang seharusnya dijadikan guru. Ketika kita tahu bahwa hutan yang gundul beresiko mempermudah air mengalir lebih keras, beresiko menjadikan tebing-tebing runtuh, terban karena berat mengandung air, maka seyogianya kita tidak hantam kromo menggunduli hutan perbukitan. Tapi apa boleh buat, mungkin karena manusia semakin banyak, lahan semakin sempit dan ditambah pula dengan perangai orang-orang yang malas berfikir panjang. Hutan perbukitan itu, bukan sekedar dibabat kayunya, yang lebih parah lagi ditukar dengan bangunan tembok permanen, yang menutup kesempatan air untuk meresap.

Di bahagian hulu, di perbukitan yang berhawa sejuk, orang-orang kaya berlomba-lomba mekonversikan hutan kayu-kayuan menjadi bangunan bungalow berbagai model dan bentuk. Atas mengatasi tanpa sedikitpun memikirkan bahwa mereka mengancam lingkungan di hilir, menjadikannya semakin rentan terhadap banjir.  

Lalu derita berikutnya. Derita jalan rusak sesudah datangnya banjir, sesudah ditimpa hujan lebat. Jalan aspal itu sebegitu rapuhnya bak kayu lapuk. Jadi penuh dengan lobang-lobang besar dan dalam. Khususnya di tempat-tempat air tergenang karena salurannya dibuat asal-asalan dan tersumbat pula. Oleh sampah yang dibuang sembarangan. Lengkaplah sudah semua itu. 

Seperti itulah mutu jalan di ibu kota negara. Baru sekali ini kita dengar pengakuan gubernurnya yang menyadari bahwa mutu jalan-jalan di Jakarta di bawah standar jalan-jalan internasional. Baru sekarang terdengar ungkapan ini. Selama ini, jalan-jalan yang rusak, tidak saja yang di Jakarta, adalah merupakan proyek besar yang selalu menelan anggaran setiap tahun. Kita sampai bosan menengar berita ketika jalan pantura dipersiapkan (lagi) untuk menampung arus mudik lebaran setiap tahun. Tidak pernah terpikir oleh beliau-beliau yang berwenang itu untuk membuat jalan yang mampu bertahan berpuluh tahun tanpa perlu diutak-utik lagi tiap sebentar. Rasa-rasanya inilah yang dimaksud gubernur DKI bahwa jalan-jalan kita tidak memenuhi standar internasional. Padahal apa benarlah susahnya merumuskan jalan kwalitas internasional itu, mustahil kita tidak akan mampu menirunya.

Tapi ya itulah. Capek kita memikirkannya. Aku sangat terusik karena 200 meter dari tempat tinggalku, di jalan Jatibening menuju pasar Sumber Arta, ada genangan di sepotong jalan, yang tidak pernah mau kering selama musim hujan ini. Genangan itu menyembunyikan dua lobang besar. Berderam bunyi mobil sedan ketika terperosok melaluinya. 

*****                    

Senin, 24 Februari 2014

Kebakaran Di Waktu Subuh

Kebakaran Di Waktu Subuh

Seorang jamaah mesjid kami bernama pak R. Sudah cukup sepuh dan seorang duda. Istrinya meninggal beberapa tahun yang lalu. Dia punya empat orang anak laki-laki dan semua tinggal terpisah di tempat mereka masing-masing, sementara pak R ini tinggal sendirian di rumahnya, di komplek kami. Tinggal sendirian dan sepertinya juga mengurus dirinya sendiri. Hal yang sebenarnya tidak mudah bagi seorang laki-laki tua yang sudah berumur sekitar 70 tahun. 

Bulan puasa satu setengah tahun yang lalu terjadi musibah. Rumahnya terbakar, tapi untung cepat mendapat pertolongan. Hanya bagian dapurnya saja yang terbakar. Para tetangga cepat memberi pertolongan dan api dapat segera dipadamkan. Pak R terlupa mematikan api di tungku sebelum dia berangkat ke mesjid, dan api itu yang menjalar, menyambar kayu dan kusen dapur. Rupanya dia menggunakan dapur dengan kayu bakar.

Dia diperingatkan warga agar berhati-hati dengan api. Api yang kalau kecil jadi kawan tapi kalau sempat membesar akan jadi lawan. Sebenarnya, tanpa diingatkanpun harusnya dia pasti sadar betapa berbahayanya api kalau tidak diawasi. 

..........

Tadi subuh, meskipun hari hujan sejak tadi malam jamaah di mesjid kami tetap ramai seperti biasa. Dua saf, meski saf kedua tidak penuh. Ditambah saf ibu-ibu di belakang yang dibatasi sikram pembatas. Ketika kami sedang shalat, beberapa kali lampu dan pengeras suara mesjid terputus-putus. Aku tidak mengerti kenapa arus listrik terganggu seperti itu. Begitu mengucapkan salam, jemaah ibu-ibu dibelakang terdengar heboh. Diikuti oleh bapak-bapak yang menghambur ke pintu mesjid. Aku masih belum faham apa yang terjadi tapi segera pula ikut berdiri. Ternyata api. Ternyata kebakaran dan api yang sudah tinggi di blok sebelah selatan dari mesjid. 

'Rumah pak R.... Rumah pak R,' aku dengar orang-orang bergumam.

Kami semua bergegas ke arah rumah yang terbakar di blok sebelah. Rumah-rumah di komplek kami ini sangat rapat, dengan rumah yang bersisian muka dan belakang lalu memanjang dengan arah timur - barat. Api menjilat-jilat cukup tinggi. Tetangga rumah yang terbakar sibuk mengeluarkan mobil dan barang-barang berharga. Sudah banyak warga yang bergotong royong menyiram api dengan air yang ditampung dari selang rumah berdekatan, sementara pemadam kebakaran sudah pula dihubungi. Padahal hari masih hujan. Tidak mudah memadamkan api dengan air dari ember yang kami kumpulkan  dari tiga buah keran rumah berdekatan.

Rumah pak R tidak dapat diselamatkan. Habis terbakar. Untungnya rumah di kiri kanan dan di belakangnya tidak atau belum disentuh api. Pemadam kebakaran datang ketika api masih berkobar. Petugas pemadam kebakaran itu berhasil memadamkan api.

Aku prihatin melihat pak R yang memandang kobaran api dengan pandangan lesu. Dia tadi ikut berjamaah subuh dengan kami. 

Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.......

*****                                                 

Sabtu, 22 Februari 2014

Sabtu Kelabu

Sabtu Kelabu 

Hari ini adalah hari Sabtu kelabu, yang dicurahi hujan sehari penuh. Ceritaku untuk hari ini berawal dari hari Sabtu minggu yang lalu. Waktu itu aku pergi ke Bandung, memenuhi undangan seorang rekan sama-sama pensiunan Total yang menikahkan puterinya. Kami berangkat pagi-pagi sekali dengan niat dan harapan bisa menghadiri akad nikah, karena malam harinya ada pula undangan walimahan anak tetangga. Yang terakahir ini sebenarnya mengundang juga untuk menghadiri acara akad nikah puterinya di rumahnya. Terpaksa dibagi-bagi waktu.

Di Bandung pekan yang lalu itu aku bertemu dengan teman lain, sama-sama pensiunan Total juga. Teman ini menyampaikan undangan ngunduh mantu yang dilaksanakan hari Sabtu ini. Tempatnya di Bogor. Nah, tadi pagi kamipun berangkat untuk memenuhi undangan tersebut.  

Kami meninggalkan rumah jam sepuluh seperempat. Hari hujan. Hujan sudah turun sejak beberapa menit sebelumnya. Persis sebelum berangkat aku baru sadar bahwa tidak ada denah lokasi di undangan itu. Tapi alamatnya jelas, jalan Ahmad Yani. Aku masukkan data jalan itu di GPS dan bismillah. 

Hujan turun semakin deras sejak kami masih di toll menuju Cawang. Lalu lintas terpaksa bergerak pelan karena hujan. Kami keluar di Cawang lalu masuk toll Jagorawi. Bukan saja hujannya makin deras, jalan terlihat gelap dibawah guyuran hujan. Kelabu. Benar-benar kelabu. Meski tidak sampai macet, rata-rata kendaraan berkecepatan kurang dari 40 km perjam.

Aku tidak mengindahkan setiap kali GPS menghitung ulang dan menyuruh keluar dari jalan toll di setiap pintu toll. Dalam pikiranku tentu GPS ini mau menggiring kami melalui jalan Bogor lama, seperti yang diisyaratkannya, agar kami menuju jalan Dewi Sartika ketika masih di Cawang. Sampai di pintu toll Bogor, untuk mencek, aku bertanya kepada petugas gardu toll kemana arah yang harus diambil untuk ke jalan Ahmad Yani. Dia memberi tahu agar kami belok kanan di lampu merah pertigaan ke Kebun Raya. Petunjuk itu cocok dengan GPS. Kami lalui jalan Pajajaran tanpa ragu-ragu. 

Kami ikuti terus jalan yang diwarnai di GPS tersebut, menuju jalan Bogor Baru. Jalan yang berada di bawah jalan layang yang sedang dibangun. Sedikit tersendat dibawah guyuran hujan yang masih lebat. Kami masih disuruh terus oleh robot GPS. Begitu juga jalan yang diwarnai masih menunjukkan bahwa kami masih harus terus. Tahu-tahu kami sudah sampai di jalan raya Bogor - Parung. Setelah melewati banjir yang menggenang di tengah jalan. Di sebuah persimpangan si GPS menyuruh ikuti jalan yang diwarnai dan memberitahu untuk berkendara sepanjang 6 kilometer lagi. Baru aku sadar bahwa kami sudah salah jalan. Kami sudah semakin jauh dari Bogor. Jalan Parung itu dua jalur dengan pemisah di tengah-tengah. Di arah berlawanan jalannya macet karena di banyak tempat digenangi air cukup tinggi. Sudah sulit bagi kami untuk berputar arah kembali.

Hari sudah jam satu. Aku suruh istriku untuk mengirim pesan permohonan maaf kepada yang punya hajat karena tidak mungkin kami akan menemukan tempat itu lagi. Istriku menyarankan agar kami terus saja menempuh jalan menuju Parung itu. Jalan ini belum pernah aku tempuh sebelumnya. 

Kami sampai di batas Kota Depok. Tujuan kami sekarang adalah pusat kotanya. Aku membayangkan bahwa kami sudah makin dekat. Ada petunjuk untuk menuju jalan Margonda, jalan yang aku kenal di Depok. Aku mengarah kesana. Jalan yang kami lalui sering-sering macet karena ada genangan air. Ternyata berkali-kali kami menemukan petunjuk arah ke jalan Margonda itu tapi belum kunjung sampai. Kami sampai di jalan Sawangan dengan petunjuk menuju ke arah Pasar Minggu dan Lenteng Agung. Tentu ini lebih baik, karena tidak mesti memasuki pusat kota Depok. Jalan itupun kami ikuti. Dua kali kami harus melewati genangan banjir setinggi 30 cm. Kali ini, pelang petunjuk ke arah Pasar Minggu dan Lenteng Agung yang kami lalui berkali-kali. Kami masih berada di titik antah berantah. Hari saat itu sudah hampir jam tiga. Dan hujan masih mengguyur. Perut sedang lapar-laparnya. Tapi tidak terlihat rumah makan yang memungkinkan untuk parkir karena jalan kecil dan setengah macet.

Akhirnya sampai juga kami di Lenteng Agung. Melalui jalan arah ke Pasar Minggu. Jalan ini lebih tersendat. Kami lalui dengan beringsut-ingsut sampai ke persimpangan untuk masuk ke toll JOR. Berbelok ke kanan menyeberangi rel kereta api. Dan terus merambat menuju pintu toll. Sudah hampir jam empat sore dan hujan masih gerimis.  

Untunglah jalan toll ini sangat lancar. Terakhir sekali kami menuju jalan Caman. Mampir ke restoran Sari Bungo yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari komplek perumahan kami. Makan di ujung lapar. Di saat hujan masih belum reda juga. 

Begitulah pengalaman di Sabtu Kelabu hari ini.

****                    

Rabu, 19 Februari 2014

Selembar Kain Kehormatan (Dari Nabawia.com)

Selembar Kain Kehormatan

Pernah mengalami pelecehan seksual gara-gara pakaian yang dikenakan? Aku pernah mengalaminya belasan tahun lalu ketika aku masih SMP. Sore itu aku dan bibiku berbelanja di salah satu pertokoan di kota kami, Purwakarta. Bibiku sedang membayar belanjaan di kasir, aku berdiri di belakangnya. Segerombol pria berjumlah sekitar lima orang berdiri tak jauh dari kami.

“Harga susu yang menonjol dan menyebabkan harga pisang naik,” begitu ucap salah seorang pria dalam gerombolan. Otakku bekerja, mencerna perkataan pria itu. Akhirnya, kusadari bahwa ucapan pria itu bertujuan untuk menyindirku. Saat itu aku memakai T-shirt ketat warna kuning terang yang otomatis menunjukkan dengan jelas lekuk tubuh. Meski sebal, aku tak bisa berbuat apa-apa. Tak kutanggapi keisengan pria itu. Aku dan bibiku berlalu meninggalkan toko.

Setelah keluar dari toko, bibiku tak berkomentar tentang kejadian tadi. Mungkin ia tidak merasa keponakannya telah dilecehkan secara lisan. Aku juga tak membahasnya. Lagipula, memang salahku yang memakai baju ketat sehingga mengundang keisengan lawan jenis. Aku memang senang sekali memakai baju yang bagus dan menarik perhatian. Setiap beli baju, aku pasti memilih baju yang terlihat cantik di tubuh manekin yang dipajang di etalase toko. Ibuku pun dengan senang hati membelikannya untukku.

Sebagai anak baru gede, aku suka sekali menjadi pusat perhatian. Untuk itu, aku berusaha tampil menarik, cantik secara fisik, dan berprestasi dalam hal akademik. Kalau soal prestasi, seringkali aku belajar hingga larut malam, sedangkan dalam hal penampilan, aku banyak bereksperimen dengan dandanan baru. Kadang kujepit atau kukuncir rambutku agar terkesan lebih fresh dan imut. Untuk acara-acara tertentu seperti parade drum band, tak jarang aku memakai bedak dan lipstik milik ibuku. Rok seragam drum band yang tadinya di bawah lutut, aku lipat di bagian pinggang hingga menjadi beberapa centi di atas lulut. Senang rasanya menjadi bintang cemerlang dan diperhatikan banyak orang. Namun, sejak kejadian di toko pakaian itu, aku mulai risih dengan yang namanya baju-baju ketat. Aku tidak suka dilecehkan gara-gara pakaian. Maka, mulailah kupilih baju-baju yang lebih longgar dan tidak terlalu membentuk lekuk tubuh.

Suatu hari ketika bulan Ramadhan, aku mendengar ceramah dari salah seorang guruku. Dia memaparkan kewajiban berjilbab bagi muslimah. Hatiku begitu tersentuh mendengarnya. Dari situ, terbersitlah keinginan untuk berjilbab. Saat itu aku duduk di kelas dua SMP. Rasanya tanggung kalau berjilbab sebelum tamat SMP. Kasihan orangtuaku jika harus membelikan seragam sekolah yang baru. Saat itu, kondisi ekonomi keluarga kami sedang tidak begitu baik. Mau tidak mau, kuntunda keinginan untuk berjilbab.

Ketika aku mengutarakan keinginan umtuk berjilbab jika masuk SMA, orangtuaku sama sekali tak menentang. Hari pertama menjadi murid SMA, aku nyaris kesiangan karena harus berjibaku dengan jilbab. Selembar kain kehormatan yang diperintahkan Allah untuk dipakai para muslimah ini membuat aku kerepotan mengenakannya. Ternyata, memakai jilbab itu rasanya gerah dan ribet. Aku menghabiskan waktu lama untuk memasang jilbab di kepala. Dengan terburu-buru, aku menaiki tangga sekolah, menuju ke kelas. Langkah ini rasanya tak selebar biasanya, rok panjang yang kukenakan terasa membatasi langkah kakiku. 

Tiba di kelas, hanya ada satu bangku kosong yang tersisa. Mega, seorang gadis hitam manis yang sudah kukenal sejak MOS (masa orientasi siswa), menawariku untuk duduk di sana. 

“Kirain siapa, pangling.” Ujar Mega. Aku hanya tersenyum simpul. 

Hari-hari selanjutnya aku mulai terbiasa dengan jilbab, tidak lagi merasa gerah dan lebih terampil mengenakannya. Rok panjang yang tadinya terasa menghambat langkah, kugunting beberapa senti ujungnya di kanan-kiri agar langkahku lebih leluasa. Tak lupa kupakai kaos kaki yang lebih panjang agar betisku tak nampak jika belahan rok terbuka.

Sebagai remaja, aku juga suka mengikuti tren yang sedang in, termasuk tren dalam berbusana dan berjilbab. Awal-awal berjilbab, ujung jilbab kubiarkan menjuntai apa adanya. Paling-paling hanya kusematkan bros untuk menyatukan kedua ujung jilbab di depan dada agar tidak terbuka. Ketika musim jilbab gaul, aku pun ikut-ikutan. Salah seorang teman membantuku untuk mengepang ujung-ujung jilbab yang kukenakan. Kepangannya ditempatkan di belakang, persis ekor kuda yang dipilin. 

Masa-masa berekspereimen dengan jilbab gaul terjadi hingga aku kelas dua SMA. Kelas tiga SMA aku kembali insyaf, tidak neko-neko dalam berjilbab. Mungkin karena pengaruh bimbingan kakak-kakak di organisasi ROHIS (kerohanian Islam). Pertemuan ROHIS khusus putri dilakukan seminggu sekali setiap hari Jum’at. Kakak-kakak kelasku yang aktif di ROHIS hampir semuanya berjilbab lebar. Mereka terkesan sangat lembut dan sabar. Bergaul dengan mereka membuat aku semakin relijius. Jika teman-teman lain pergi ke kantin saat jam istirhat tiba, aku dan teman-teman ROHISku lebih memilih pergi ke mushola untuk shalat dhuha. Aku merasa sangat beruntung berteman dengan orang-orang yang baik, sehingga masa remajaku tak sia-sia dengan kegiatan-kegitan yang tidak berguna.

Setelah memutuskan untuk berjilbab, sedapat mungkin aku tidak buka-tutup jilbab. Penutup kepala yang diwajibkan atas muslimah itu selalu kukenakan tiap kali aku keluar rumah, meskipun itu hanya untuk menjemur pakaian. Jilbab membuat aku merasa aman dan nyaman, bebas dari pandangan penuh nafsu dari para lelaki yang tipis iman. Jilbab juga menjadi penjagaku dari segala macam pengaruh negatif di sekitar. Jika terbersit niat untuk berbuat/berkata jahat, jilbab menjadi rem yang menghentikannya. Semoga makin banyak muslimah yang sadar untuk memakai jilbab dan istiqomah mengenakannya. (pm)


Rihanu Alifa - Purwakarta

Minggu, 16 Februari 2014

Pencapaian

Pencapaian 

Beberapa pekan yang lalu, ketika aku pulang kampung, aku bertemu dengan kawan sama sekolah dan sama mengaji dulu. Kami jarang sekali berjumpa. Maka pada pertemuan itu tentu dikenang-kenang kembali sejarah lama, ketika kami masih kanak-kanak, lebih setengah abad yang lalu. Ketika kami main kelereng, main karet gelang. Bapenda istilahnya. Ya, setengah abad yang lalu. Dan sekarang dia adalah seorang pedagang yang sukses di Bandar Lampung.

Mengenang masa kanak-kanak di kampung melayang pula ingatanku kepada seorang kawan yang lain. Yang juga sama-sama sekelas dan sama-sama mengaji. Di kelas dan di sekolah mengaji kami selalu berlomba-lomba, atas mengatasi. Suatu ketika di bulan puasa, entah siapa yang memulai, kami berkhayal, bahwa kami nanti akan menggantikan ustadz (ulama dan kadhi nikah) dan imam di mesjid kampung. Tidak kami katakan siapa yang akan menggantikan siapa. Dan hebatnya pula, kami pernah berkelahi. Bertinju. Ketika kami masih anak-anak itu. Kawanku ini bersekolah di PGA Negeri, terus ke IAIN dan terakhir bersekolah lagi di Madinah. Dia benar-benar jadi ustadz, mengajar di Malaysia dan berpulang ke rahmatullah di sana. Mudah-mudahan Allah Ta'ala melapangkan kuburnya. Waktu aku naik ke kelas enam SR, ustadz yang aku sebut di atas menawarkanku untuk melanjutkan sekolah ke PGA Diniyah tanpa menyelesaikan kelas enam. Sayang almarhumah ibuku tidak menyetujuinya.

Di SMP aku punya seorang teman akrab yang aku 'iri' kepadanya. Berkali-kali dia jadi juara umum se SMP. Tamat dari SMP kami berpisah. Dia melanjutkan ke SMA di Bukit Tinggi sementara aku ikut kakak sepupuku merantau ke Rumbai. Kelas tiga SMA aku pindah ke Bukit Tinggi dan dia pindah ke Jakarta. Rencananya dia akan ikut pamannya ke sebuah negara di Eropah. Kami bertemu sebelum dia berangkat ke Jakarta, bahkan aku ikut mengantarnya ke Padang. Setelah itu aku tidak pernah lagi berjumpa dengannya untuk waktu yang lama. Tahun 1982, dia mengagetkanku ketika dia menelponku di Balikpapan, dan mengatakan bahwa dia sedang berada di kota itu. Aku langsung mencarinya dan bertemu. Dia tinggal di mess Pertamina. Kamipun bercerita panjang. Rupanya dia tidak jadi dibawa pamannya ke Eropah, karena pamannya tersebut, yang bekerja di kedutaan Indonesia, pindah ke sebuah negara di Afrika. Entah karena alasan apa, dia tidak melanjutkan sekolah setamat dari SMA. Dia bekerja di Pertamina. Kedatangannya ke Balikpapan adalah untuk urusan pekerjaan. Aku ajak dia menginap di rumahku dan dia mau. Kami bawa dia berjalan-jalan ke Samarinda dan ke Tenggarong. Aku semangati dia untuk melanjutkan sekolah di sekolah perminyakan di Cepu yang dapat dilakukannya secara bertahap sambil tetap bekerja. Dan dia melakukannya. Di usia empat puluhan dia berpulang pula ke rahmatullah, di Prabumulih tempat dia bertugas.

Aku mulai bekerja di Balikpapan awal November tahun 1979. Di kota itu aku bergaul dengan banyak sekali teman dari berbagai suku bangsa dan latar belakang pendidikan. Bahkan dengan kawan-kawan dari perusahaan minyak lain. Aku pensiun dari Total tahun 2007. Kesempatan untuk saling bertemu dengan kawan-kawan ex karyawan Total setelah kami pensiun, kalau bukan di pesta pernikahan anak teman atau bisa juga di tempat melayat, kalau ada teman atau keluarganya meninggal. Semua teman-teman lama, yang setingkat, yang atasan, yang bawahan. Dengan penampilannya masing-masing. Sudah banyak juga yang almarhum. Yang masih ada, dengan kondisinya masing-masing pula. Ada yang masih aktif, ada yang sudah pensiun penuh. Berbagai macam pula pencapaian kami. Ada yang sampai di pucuk pimpinan perusahaan, ada yang biasa-biasa saja, dan ada juga yang kurang beruntung.

Terlepas dari pencapaian duniawi, berhasil atau kurang berhasil, semuanya sudah berada di sebelah 'petang'. Ada yang masih di sekitar 'asar' ada yang benar-benar sudah menjelang maghrib. Di samping yang sudah lebih dahulu 'pudur'. Semua pencapaian dunia ini ternyata memang hanya begitu-begitu saja. Pasti akan berakhir kesudahannya.

****                                      

Jumat, 14 Februari 2014

Akhlak Dan Moral

Akhlak Dan Moral

'Moral rakyat negeri ini sudah terlalu banyak yang rusak,' seorang teman melampiaskan perasaannya. 'Sampai bosan kita membaca berbagai prilaku tidak terpuji yang mereka perbuat. Tidak pandang siapapun. Yang lebih mengesalkan lagi, di kalangan orang-orang yang seharusnya bisa dipercaya, kecurangan demi kecurangan tetap jadi hiasan hidup. Padahal negeri ini mayoritas penduduknya beragama Islam. Dan lihatlah! Tingkah laku mereka tidak mencerminkan keislamannya. Justru di negeri-negeri bukan Islam orang bisa berprilaku lebih islami. Kau tahu? Penduduk New Zealand adalah masyarakat yang paling islami. Sementara negeri kita ini di peringkat ke 131 dari lebih 200 negara di dunia dalam keindahan moral,' dia terus menyerocos.

'Bagaimana mengukur kadar keislamian suatu bangsa yang menempatkan New Zealand paling baik itu?' aku bertanya.

'Dengan nilai-nilai moral. Dengan kejujuran. Dengan kebiasaan amanah, terpercaya, tidak suka berbohong dan merugikan orang lain. Kau tahu? Anak-anak sejak umur dini di negeri itu diajar dan dilatih untuk  bisa tertib. Untuk terbiasa antri. Menghargai kepentingan orang lain. Tidak suka main serobot seperti kebiasaan anak-anak kita. Sopan dan santun dalam berbicara. Cepat minta maaf kalau terlanjur berbuat keliru. Pernah kau dengar? Seseorang yang terpeleset di depan orang lain dan mengagetkan orang itu, buru-buru minta maaf. Bukan seperti yang sering kita lihat di sini, orang yang terpeleset langsung marah-marah dan menyalahkan orang lain.'

'Oo begitu?!' 

'Ya, begitu. Pegawai-pegawai punya harga diri dan tidak mau disuap. Orang malu untuk korupsi. Malu jika sampai terlihat hidupnya tidak pantas dan tidak bersesuaian dengan penghasilannya. Mereka amanah dan terpercaya.'

'Cuma sayang barangkali mereka bukan orang-orang yang beriman,' aku menyela asal-asalan.

'Apa maksudmu? Mereka tidak Islam tapi moral mereka terpuji. Akhlak mereka mulia.'

'Ya... Moral mereka terpuji. Tapi akhlak mereka belum tentu.'

'Maksudnya?' tanyanya.

'Moral tidak sama dengan akhlak. Moral adalah untuk ukuran dunia. Penilaian moral berdasarkan kebiasaan dan hukum dunia. Sementara akhlak adalah ukuran dunia dan akhirat. Akhlak adalah prilaku makhluk yang menyadari bahwa dirinya diawasi Sang Khalik.'

Dia mendelik.

'Apakah menurutmu orang-orang New Zealand itu tidak patut dikatakan berakhlak baik?'  

'Seandainya di antara mereka itu ada yang hidup bersama, saling menghormati dan saling mencinta tapi mereka tidak menikah, akankah kau katakan pasangan seperti itu berakhlak baik? Atau seandainya di antara mereka ada yang terbiasa minum khamar sampai mabuk, akankah yang seperti ini juga dinilai berakhlak baik?'

'Memangnya ada?'

'Entahlah. Mungkin kau yang lebih tahu.'

'Lalu bagaimana dengan orang Islam yang moralnya atau katakan akhlaknya tidak baik?'

'Apanya yang bagaimana? Kalau dia suka bermaksiat, suka berbuat zalim, menyakiti orang lain, mengambil harta orang lain maka dia itu berdosa. Jika orang yang dizaliminya tidak mengikhlaskan dan tidak memaafkannya, nanti di akhirat dia akan dihukum Allah.'

'Walaupun dia sempat minta ampun kepada Allah?'

'Walaupun dia sudah minta ampun kepada Allah, tapi dosanya terhadap sesama manusia yang belum diselesaikannya di dunia ini, nanti akan diusut dan diadili di akhirat.'

Dia terdiam......

****

                                   

Senin, 10 Februari 2014

Masjidil Haram

Masjidil Haram

Masjidil Haram sedang mengalami perluasan lagi. 'Lagi' karena memang sudah berkali-kali masjid yang di dalamnya terdapat Ka'bah itu diperbesar. Diperluas, diperlebar, dibuat bertingkat. Jalur tempat sa'i misalnya, yang sepuluh tahun yang lalu hanya satu tempat sekarang sudah ada dua, karena dibuat bertingkat. Kali ini yang sedang direnovasi adalah bagian dari mesjid yang mengitari Ka'bah itu, dibongkar untuk digeser ke belakang. Tujuannya tentu saja untuk memberi tempat kepada lebih banyak lagi jamaah yang bisa ditampung oleh mesjid. Menurut catatan, sebelum renovasi yang terakhir ini, Masjidil Haram 'hanya' bisa menampung sedikit lebih dari sejuta jamaah. Suatu jumlah yang luar biasa sebenarnya, tapi itu masih jauh dari cukup.

Jauh dari cukup? Ya, jauh dari cukup karena menurut catatan pemerintah Arab Saudi pada musim haji tahun 1433 Hijriyah (tahun 2012 M) jumlah jamaah mencapai lebih dari 3 juta orang. Pada saat puncak pelaksanaan haji, sesudah wuquf di Arafah, keseluruhan 3 juta orang ini akan masuk ke dalam Masjidil Haram untuk melakukan thawaf, sebagai bagian dari rukun ibadah haji, dalam rentang waktu yang singkat, hanya dua - tiga hari saja. Semua harus melakukan thawaf ifadha. Tidak keseluruhan bagian mesjid dapat digunakan untuk thawaf. Hamparan tempat berdirinya Ka'bah hanya mampu menampung sedikit lebih dari seratus ribu jamaah dalam waktu bersamaan. Mereka berdesak-desak melakukan thawaf sebanyak tujuh kali putaran. Untungnya, masih ada bagian dari mesjid yang bertingkat tiga itu yang dapat juga digunakan untuk melakukan thawaf, mengelilingi Ka'bah. Dan sekarang dibuat pula jalur khusus dan bertingkat di hamparan lantai Ka'bah untuk thawaf. Begitu juga dengan tempat melakukan sa'i, sangat terbatas daya tampungnya untuk dibandingkan dengan jumlah 3 juta orang jamaah haji.

Lokasi Masjidil Haram itu sebenarnya adalah sebuah lembah yang relatif sempit, yang dikelilingi oleh bukit-bukit batu. Di luar kompleks mesjid terdapat hotel-hotel dan tempat pemukiman jamaah. Dan pasar. Jamaah haji Indonesia yang datang ke Makkah sebelum tahun 2000 mungkin tidak ada yang tidak kenal dengan pasar Seng. Pasar yang namanya dikalangan jamaah Indonesia dikenal demikian, yang tadinya konon kabarnya memang dikelilingi oleh pagar dari seng. Pasar itu sekarang sudah tidak ada. Di dekat pasar seng itu ada satu bagian yang oleh orang Indonesia disebut kampung Syami'ah. Di kampung Syami'ah ini dulu terdapat pemondokan untuk jamaah haji biasa. Pemondokan kampung Syami'ah juga sudah tidak ada sekarang. Tempat pemukiman jamaah haji biasa sekarang makin menjauh dari Masjidil Haram, di Misfalah, di Aziziyah yang berjarak 3 sampai 4 kilometer jauhnya.

Kenapa pasar Seng dan kampung Syami'ah itu sekarang tidak ada lagi? Karena dipakai untuk perluasan mesjid dan sebagian lagi dibangun hotel tempat menginapnya jamaah haji 'plus'. Jadi kalau demikian hanya jamaah haji 'plus' ini saja yang diistimewakan? Bukan juga demikian, karena ada juga sebagian dari hotel-hotel besar itu yang dibongkar, untuk perluasan mesjid. Bukan tidak mungkin lokasi yang sekarang masih ditempati hotel-hotel besar itu sekali waktu akan dibongkar lagi untuk perluasan mesjid (lagi).

Pemerintah Saudi berkewajiban melakukan perluasan-perluasan karena jumlah jamaah haji yang datang selalu meningkat pesat setiap tahun. Tahun 1990, ketika aku pergi melaksanakan ibadah haji, jumlah jamaah keseluruhan waktu itu 1,7 juta orang. Jumlah jamaah haji Indonesia sekitar 80,000 orang. Aku masih ingat ketika shalat Juma'at sebelum hari wuquf, datang di mesjid jam setengah sebelas pagi, Masjidil Haram penuh sesak luar biasa. Aku tidak bisa sujud menyentuh lantai, melainkan di punggung jamaah di depan. Tahun 2004, waktu aku melaksanakan ibadah haji yang kedua kalinya (menghajikan ayahku), kami pergi sekeluarga, aku menyerah ketika membimbing istri dan anak-anakku saat melaksanakan sa'i, sesudah sebelumnya melaksanakan thawaf, karena jalur sa'i itu berdesak-desak luar biasa dan kami sudah sangat kepayahan. Aku berniat untuk kembali lagi mengerjakan sa'i di malam harinya. Ketika bertemu dengan pembimbing rombongan beberapa jam kemudian, beliau menyarankan agar mencoba lagi, karena malam haripun suasananya akan lebih kurang sama. Tahun 2004 itu jumlah jamaah haji menurut catatan pemerintah Saudi sekitar 2.4 juta orang. Bisa dibayangkan bagaimana suasananya tahun 2012 ketika jumlah jamaah haji lebih dari 3 juta orang.

Dalam melakukan perluasan Masjidil Haram terlihat bahwa pelaksana perluasan tersebut (baca; Pemerintah Arab Saudi) memang sangat tegas dan tidak mempertimbangkan faktor lain termasuk faktor tempat yang untuk sementara orang dianggap sangat khusus seperti rumah tempat lahir Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, rumah beliau dengan istri pertama beliau Khadijah. Kalau tempat-tempat itu harus digusur untuk memperluas mesjid, ya mereka gusur. Kalau hotel-hotel besar harus dibongkar (dengan ganti 'untung') ya mereka bongkar. Kalau tempat masuk ke sumur Zam-zam di pelataran Ka'bah harus ditutup untuk memberi tempat bagi jamaah yang thawaf, ya mereka tutup. Mereka hanya mempertahankan tempat yang benar-benar perlu dipertahankan keberadaannya untuk beribadah, yaitu Ka'bah dan jalur sa'i antara Safa dan Marwa.

Ketegasan seperti ini dilakukan untuk kemashlahatan jamaah haji yang jumlahnya terus dan terus bertambah. Meskipun fasilitas yang disediakan dengan tambahan-tambahan itu selalu keteteran mengikuti pertambahan jumlah jamaah haji dari tahun ke tahun. Dengan perluasan yang sedang dilakukan saat ini, Masjidil Haram akan mampu menampung 200,000 tambahan jamaah. Perluasan itu diharapkan akan selesai tahun 2016. Sementara, tahun 2016 itu akan berapa banyak jumlah jamaah haji? Tahun 1434 Hijriyah yang lalu pemerintah Saudi mengurangi quota setiap negara pengirim jamaah sebanyak 20% karena sedang berlangsungnya pekerjaan renovasi. Ketegasan yang susah untuk bisa dimengerti oleh sebagian orang awam. Yang merasa bahwa 'tempat-tempat' bersejarah diabaikan begitu saja. 

****

Rabu, 05 Februari 2014

Seuntai Pengalaman Dalam Hidup

Seuntai Pengalaman Dalam Hidup

Kemarin aku berkunjung ke kantor Star Energy. Terhitung sejak awal Januari yang lalu aku tidak bekerja lagi, setelah hampir tiga tahun menjadi konsultan geologi di sana. Tapi aku masih punya tanggung jawab untuk memberikan lima kali lagi pelatihan tentang dasar-dasar peggunaan log listrik, yang rencananya dilakukan setiap hari Rabu. Hari Rabu minggu yang lalu pertemuan itu gagal karena macet di jalan.

Disebabkan adanya rencana lima kali pertemuan ini, aku belum berpamitan di sana. Rencanaku biar nanti saja sekalian kalau tugas-tugas itu sudah selesai. Kemarin itu aku hadir di mushala kantor di lantai dua. Mushala tempat aku ikut shalat berjamaah zuhur dan ashar. Mushala yang sangat baik dengan jumlah jamaah shalat fardhu di hari-hari biasa berpuluh-puluh orang. Taklim-taklim mingguan dan bulanan dilaksanakan dengan sangat teratur. Tiap hari Senin kami biasa pula bertadarus sesudah shalat zuhur sampai jam satu. Di bulan Ramadhan (aku melalui tiga kali bulan puasa selama bekerja di sana) ada ceramah tiap hari.

Semua itu menjadi sebuah pegalaman yang cukup berkesan.

Karena aku tidak memberitahu siapapun juga tentang sudah (hampir) berakhirnya tugasku, waktu kemarin bertemu saat shalat zuhur, banyak yang bertanya, kemana saja aku selama sebulan belakangan ini. Ada yang bertanya apakah aku mengambil cuti. Atau baru kembali dari umrah. Aku jelaskan apa adanya.

Ada pula yang bertanya bagaimana rasanya setelah tidak terikat lagi dengan rutinitas melintasi jalan-jalan yang macet? Ini bukan sesuatu yang baru bagiku. Sebelum diajak bekerja di Star Energy aku sudah menikmati masa idle selama tiga setengah tahun. Memang sih ada juga yang hilang. Waktu terjebak macet setiap pagi aku biasa mengisi waktu dengan mengulang-ulang hafalan. Dan di waktu pulang sore harinya aku biasa mendengar pengajian melalui radio. Justru di rumah kebiasaan ini terhenti.

Seuntai pegalaman sudah pula ditambahkan dalam hidupku.     

****