Senin, 23 Januari 2023

Beranjak Tua

Beranjak Tua 

Alhamdulillaah atas nikmat hidup yang diberikan Allah. Atas nikmat umur yang semakin bertambah sebagai pertanda semakin mendekati garis finish. Alhamdulillaah atas nikmat sehat meski disana-sini sudah mulai diperingatkan Allah dengan dikuranginya kondisi jasmani ini sedikit demi sedikit. Rambut yang semakin memutih, gigi yang mulai rontok, kulit yang mulai keriput, tenaga yang terasa mulai berkurang. Semua adalah peringatan dari Allah yang wajib disyukuri dan diterima dengan ikhlas. Alhamdulillaah bahwa anggota tubuh ini masih bisa digunakan secara baik untuk rukuk dan sujud. 

Karena sesungguhnya aku memang sudah tua. Melebihi rata-rata umur umat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang beliau sampaikan bahwa usia rata-rata umat beliau adalah antara 60 dan 70 tahun. Sedang aku saat ini sudah hampir 74 tahun (akan tepat 74 di bulan Zulqaidah nanti, in syaa Allah). Umur ini adalah anugerah Allah semata. Kehidupan ini, rezeki ini. Anak keturunan, dengan cucu yang sekarang berjumlah 8 orang. Semua adalah dari Allah dan aku sangat bersyukur kepada Nya dengan limpahan rahmat dan kurnia Nya ini. 

Dalam perjalanan hidup yang cukup panjang itu, banyak lika-liku yang dilalui. Yang berbelok, yang mendaki, yang melereng, yang menurun. Namun secara keseluruhan, alhamdulillaah jalan yang kutempuh rata-rata sangat baik. Boleh dikatakan aku telah menjalani hidup ini di jalur pertengahan saja, tidak ada yang berlebihan buruknya dan tidak ada pula yang berlebihan eloknya.  Semua itu adalah nikmat dari Allah yang wajib disyukuri.

Aku berteman dengan banyak orang, baik di tempat bekerja dulu atau di lingkungan tempat tinggal. Berteman dengan siapa saja tanpa membedakan tingkat sosial mereka. Pertemanan yang sedang-sedang saja keakrabannya namun tidak ada yang sampai jadi musuh dalam hidupku. Aku tidak suka bermusuhan. Dalam pergaulan sehari-hari tentu pernah kitai berbeda pendapat dan bahkan mungkin berdebat, beradu argumentasi. Tapi bagiku hal itu biasanya berakhir selama perdebatan itu saja. 

Aku bersyukur dengan nikmat iman Islam yang dianugerahkan Allah. Mudah-mudahan Allah senantiasa memberi bimbingan dan petunjuk agar aku tetap dalam beriman kepada Nya sampai akhir hayatku nanti. Dan mudah-mudahan Allah matikan aku dalam husnul khaatimah.. 

****

Jumat, 20 Januari 2023

Tahun Ke Tigapuluh Di Jatibening

Tahun Ke Tigapuluh Di Jatibening 

Tak terasa sudah hampir tigapuluh tahun aku sekeluarga menjadi warga Komplek Depked II Jatibening - Bekasi. Inilah tempat dengan rentang waktu terpanjang aku bertempat tinggal dalam hidupku. Waktu tigapuluh tahun jelas bukan sebentar. Keluargaku mulai jadi warga Komplek Depkes II Jatibening ini sejak bulan Desember 1993. Kami pindah dari Balikpapan. Waktu itu anakku yang paling tua masih duduk di kelas 2 SMP dan yang paling bungsu masih di kelas 2 SD.  

Masih segar dalam ingatan bagaimana pada awalnya perjuangan hidup kami terasa cukup berat disini, karena kami pindah dari lingkungan yang penuh kemudahan dengan fasilitas yang disediakan kantor di Balikpapan. Tapi alhamdulillaah kami bersabar menjalaninya. Bagiku pribadi, salah satu yang terasa berat adalah perjalanan ke kantor. Jaraknya sekitar 18 km tapi waktu untuk menempuhnya bervariasi dari sekitar 40 menit sampai satu jam lebih kalau pas dihadang macet. Kemacetan di Jakarta adalah sesuatu yang biasa. Apalagi di musim hujan dan terjadi banjir di mana-mana. Hal yang tidak aku temukan di Balikpapan sebelumnya.. Di Balikpapan jarak tempat tinggal ke kantor tidak sampai satu kilometer, hanya memerlukan waktu kurang dari lima menit untuk menempuhnya. Bagaimanapun, akhirnya kami sekeluarga terbiasa dengan berbagai tantangan hidup di Jakarta. Anak-anakku belajar dengan tekun di sekolah mereka masing-masing. 

Dengan perjalanan waktu kami (aku dan istri terutama) sangat betah dengan lingkungan tempat tinggal kami. Hubungan persaudaraan sesama warga komplek ini sangat baik. Komplek ini kecil, terdiri dari sekitar 200an buah rumah ukuran sedang. Penghuninya sangat Indonesia Raya. Rata-rata adalah pegawai swasta atau pegawai negeri. Kami aktif sebagai jamaah mesjid komplek.

Dalam kurun waktu tigapuluh tahun itu banyak hal yang sudah dilalui. Ketiga puteriku telah menyelesaikan studi mereka. Dua orang sudah aku nikahkan di tempat ini. Dari mereka berdua aku sekarang mempunyai 8 orang cucu. Cucu yang paling tua sekarang sudah di kelas dua SMA. Yang paling bungsu berumur sebelas bulan. Kedua puteriku ini sekarang tinggal di Balikpapan karena suami mereka bekerja di sana. Di Jatibening tinggal kami bertiga dengan si bungsu.

Tahun 2007 aku pensiun dari Total Indonesie dengan masa bakti selama dua puluh delapan tahun. 14 tahun berstatus karyawan Balikpapan dan 14 tahun sebagai karyawan Jakarta. 14 tahun di Jakarta yang membuatku jenuh mengendarai mobil menghadang kemacetan Jakarta. Tahun 2011 aku sempat bekerja kembali selama hampir tiga tahun, waktu aku diminta seorang teman di perusahaan minyak swasta nasional. Dan sejak awal tahun 2014 aku pensiun total.

Sejak beberapa tahun terakhir, banyak rumah-rumah di komplek ini yang dijual. Umumnya ketika pemilik utamanya sudah meninggal, maka oleh anak-anaknya rumah orang tuanya dijual karena mereka, anak-anak itu sudah punya tempat tinggal sendiri. Bukan tidak mungkin kalau kami sudah tidak ada nanti, rumah yang sudah kami tempati selama tigapuluh tahun ini juga akan dijual oleh anak-anak kami.

**** 

Jumat, 04 September 2020

Hutang Dan Gadai (lanjutan)

Allah memerintahkan di ayat 282 surat Al Baqarah agar proses muamalah, hutang-piutang itu ditulis oleh seorang penulis dengan benar. Penulisnya haruslah seorang yang berilmu. Aturannya harus dibuat dengan teliti dan dipahami oleh kedua belah pihak yang berhutang dan yang menghutangi. Seandainya yang berhutang lemah atau kurang akalnya maka harus ada walinya yang mewakilinya. Dan harus ada dua orang saksi laki-laki, atau kalau tidak ada dua orang laki-laki boleh satu orang laki-laki ditambah dua orang perempuan. Begitu aturannya menurut ayat tersebut.

Apa saja yang harus ditulis? Tentu segala sesuatu yang menyangkut dengan perjanjian berhutang tersebut, termasuk siapa dan bagaimana membayarnya, kapan akan dibayar dan dengan cara apa akan dibayar. Semua persyaratan ini haruslah disetujui bersama oleh kedua belah pihak. Penulisnya harus seorang yang adil dan takut kepada Allah, sehingga perjanjian hutang-piutang itu nantinya terhindar dari merugikan fihak yang manapun. 

Begitu aturan untuk hutang tanpa agunan dan begitu juga untuk hutang dengan agunan alias gadai.

Mengenai gadai, ada hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang ketentuan jika yang digadaikan itu hewan ternak. Selama hewan itu dibawah pemeliharaan yang memagang, maka dia (si pemagang) boleh mengambil manfaat seperti air susu maupun tenaga dari hewan tersebut karena dia juga bertanggung jawab memberinya makan.

Berdasarkan hadits tersebut timbul pemikiran-pemikiran saya sebagai berikut.

Adalah penting bagi penulis perjanjian gadai untuk menyebutkan berapa lama hutang gadai itu diperkirakan akan terselesaikan sesuai dengan harapan si pemilik ternak. Kalau hanya untuk bilangan hari atau pekan mungkin tidak akan menimbulkan masalah. Tapi kalau penggadaian itu akan berlangsung dalam bilangan tahun, banyak hal yang harus dirinci untuk disetujui. Bagaimana kalau dalam waktu setahun tersebut hewan itu beranak, siapa pemilik anaknya. Tentu harus ada persetujuan yang adil antara kedua pihak. Begitupun seandainya hewan itu secara alami, bukan karena keteledoran si pemagang, mati, bagaimana pula penyelesaiannya? 

Sekarang kita ambil kasus gadai sawah dengan gadai hewan ternak ini sebagai pembanding. Kita qiyaskan. Pemagang tentunya bertanggung jawab pula memelihara sawah itu agar tidak menjadi terbengkalai. Tidak menjadi 'liek' kata orang Minang. Atau menjadi rimba semak belukar kalau dibiarkan saja, apatah lagi kalau masa gadai bertahun-tahun. Untuk menghindari yang demikian, keadaan sawah itu dipeliharanya, dijadikannya sawah seperti biasa. Lalu apakah serta merta akan dicap saja bahwa dia memakan riba dari hasil sawah itu? Kalau dari hewan ternak, karena pemeliharaannya maka hasil sampingan ternak itu berupa susunya atau tenaganya boleh digunakan si pemagang, kenapa pula hasil sawah tergadai yang diusahakannya agar tetap terpelihara sebagai sawah dia tidak boleh mengambil hasilnya?

Di sini saya melihat bahwa pengaturannya boleh diusulkan secara adil dan bijak oleh penulis perjanjian gadai. Dan penting untuk diketahui berapa lama kira-kira gadai itu akan berlangsung. Dalam praktek, seringkali gadai itu berlangsung bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun. Ada yang sampai tidak tertebus lagi oleh pemiliknya. Yang umumnya berlaku pemilik sawah tidak mendapatkan apa-apa dari hasil sawahnya. Hal ini tidak adil baginya karena hutang gadainya mungkin hanya setengah dari harga sawah. Sebaliknya, jika pemberi hutang tidak boleh mengambil hasil sawah yang dipagangnya karena dikatakan riba, yang artinya dia tidak boleh memanfaatkan sawah yang dipagangnya juga tidak adil untuknya. Jadi harusnya ada pemecahan yang adil untuk keduanya, dan terhindar dari mubazir dengan membiarkan sawah tersebut tidak berproduksi selama watu gadai.  


Wallahu a'lam.

****



Rabu, 02 September 2020

Hutang Dan Gadai

Hutang Dan Gadai

Ada pertanyaan tentang hukum menggadaikan sawah yang terjadi di Minangkabau. Ada yang menganggap bahwa tatacara gadai sawah yang berlaku di sana itu sebagi praktek riba. Benarkah demikian?

Gadai sejatinya adalah meminjam uang dengan menyerahkan barang sebagai jaminan kepada yang meminjamkan. Praktek gadai ini sudah ada sejak lama. Bahkan menurut riwayat, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah menggadaikan baju perang beliau.

Islam mengajarkan tatacara bermuamalah yang melibatkan hutang piutang dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 282. Intinya, dalam pelaksanaan hutang piutang tersebut hendaklah dituliskan persyaratan dan ketentuannya yang kemudian disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki. Artinya perjanjian hutang piutang itu ditulis dengan jelas sedemikian rupa agar masing-masing si pemberi pinjaman dan si peminjam tidak dirugikan di kemudian hari di saat hutang itu dikembalikan. Perjanjian yang ditulis itu haruslah halal dan adil. Tidak boleh disyaratkan bahwa si peminjam harus membayar hutangnya dengan tambahan atau bunga, karena yang seperti itu riba namanya. Sebaliknya tidak boleh pula si peminjam membayar hutangnya dengan nilai yang kurang dari yang dipinjamnya.  Contoh yang terakhir ini sangat mungkin terjadi ketika yang dipinjam uang kertas yang nilainya dipengaruhi inflasi. Si A meminjam uang kepada si B sebanyak satu juta rupiah, yang ketika dia menyerahkan uang tersebut nilainya seharga seekor kambing. Si A membayar hutangnya tiga tahun kemudian tetap satu juta rupiah yang nilainya setara dengan setengah ekor kambing.

Gadai artinya meminjam (uang) dengan memberikan barang sebagai jaminan. Jumlah yang dipinjam biasanya kurang dari harga barang jaminan. Dalam melakukan penggadaian ini tetap perlu dituliskan aturan yang tidak berpotensi merugikan kedua belah pihak. Di Minangkabau, yang menggadaikan sawah biasanya menerima pinjaman gadai dalam satuan rupiah emas. Karena nilai rupiah emas itu bebas dari pengaruh inflasi. Kalau dia menebus sawahnya suatu saat nanti dia harus mengembalikan sebanyak rupiah emas yang dipinjamnya di awal perjanjian gadai.  

Lalu bagaimana pengaturan untuk barang jaminan? Inipun harus dijelaskan secara adil. Pada waktu si A menggadaikan sawahnya kepada si B, lalu si B ‘memegang’ (dalam Bahasa Minang disebut ‘mamagang’) bolehkah dia mengambil hasil sawah tersebut? Ini yang sementara orang menganggap sebagai praktek riba, karena seolah-olah, si B memakan bunga dari uang yang dipinjamkannya.

Kalau yang digadaikan itu barang misalnya baju, si pemilik uang akan memegang baju itu tapi mungkin tidak menggunakannya. Si peminjam uang sementara dia masih berhutang juga tidak bisa memakai baju yang digadaikannya itu. Tapi kalau sawah? Apakah selama sawah itu tergadai maka sawah itu tidak boleh diusahakan? Kalau tetap diusahakan oleh si peminjam, berarti yang meminjamkan uang (yang memagang) tidak mendapat jaminan apa-apa dari uang yang dipinjamkannya.  

Seandainya dibandingkan dengan barang, yang hanya disimpan saja sebagai jaminan, tentunya sawah yang tergadai juga dibiarkan saja tapi di bawah pengawasan yang punya uang. Dan ini tentu mubazir karena kalau diusahakan sawah itu bisa memberikan hasil. Sedangkan biasanya hutang gadai ini berlangsung dalam waktu lama. Mungkin jalan tengahnya (tapi sepertinya belum ada yang mempraktekkan) berbagi hasil selama sawah itu tergadai, antara yang punya sawah dengan yang memagangnya. Dengan demikian sawah itu tidak tersia-sia. Seolah-olah selama masa gadai sawah itu jadi milik berdua. Kalau yang punya sawah sudah sanggup membayar pinjaman gadainya, maka sawah itu kembali jadi miliknya seutuhnya.

Ada pula yang menganjurkan dan bahkan mempraktekkan, setelah sekian puluh tahun sawah itu tergadai, dan selama itu hasilnya diambil seutuhnya oleh yang memagang, maka setelah sekian tahun itu tadi si pemagang diminta mengikhlaskan saja uangnya dan mengembalikan sawah itu kembali kepada pemiliknya. Cara seperti ini belum tentu juga benar. Kecuali kalau sejak awal disetujui bahwa hutang gadai itu dicicil membayarnya dengan hasil sawah.

****


Selasa, 07 Juli 2020

Zulqaidah

Zulqaidah 

Almarhumah ibuku dulu, mempunyai kitab tafsir Al Quran Mahmud Yunus. Cover tafsir itu berwarna hijau. Aku suka membaca tafsir itu ketika masih remaja kecil di kampung dulu. Membaca terjemahan surat Yusuf dan surat-surat lainnya. 

Yang istimewa tentang kitab tafsir itu, ibuku mencatat hari kelahiran anak-anak beliau secara rinci di halaman depannya. Maka di sana tertulis tentang aku, bahwa aku dilahirkan hari Selasa jam 02.15 siang Waktu Sumatera Utara tanggal 21 Agustus 1951 atau bertepatan dengan tanggal 17 Zulqaidah 1370 Hijriyah, di RSU Bukit Tinggi.

Di rumah ibuku yang lama (rumah gadang tidak bergonjong) di atas pintu kamar sebelah utara (sabalah ka ilia dalam bahasa kampung kami) ada lukisan pemandangan dengan catatan kelahiran kakak sepupuku (almarhumah uni Im}. Catatan kelahiran seperti itu entah kenapa kami menyebutnya hijrat. Lukisan sejenis terletak di empat pintu kamar, dua di sebelah utara dan dua di sebelah selatan. Tapi yang ada catatan kelahiran hanya yang satu di utara itu saja. Lalu yang lain yang terletak di sebelah selatan, di atas pintu kamar ibu aku tulis dengan hijratku. 

Masih terbayang olehku lukisan-lukisan dengan catatan kelahiran itu, meski rumah gadang itu sudah tidak ada lagi sekarang.

Hari ini adalah tanggal 17 Zulqaidah 1441. Artinya hari ini usiaku tepat 71 tahun menurut kalender Hijriyah. Usiaku sudah delapan tahun lebih banyak dari usia Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

****                    

Selasa, 23 Juni 2020

Dari 75 Ke 57

Dari 75 Ke 57   

Sebelum bulan Maret 2019, sebelum aku jatuh sakit yang sempat dirawat inap selama seminggu, berat badanku adalah 75 kg. Berat yang aku rasakan cukup ideal. Waktu saat-saat terakhir bekerja di Total, di tahun 2007, berat badanku pernah mencapai 82 kg. Berat 82 kg itu terasa agak kegemukan untuk tubuhku dengan tinggi 170. Bagaimana bisa turun dari 82 ke 75? Dengan cara berhenti sarapan nasi plus telor matasapi di pagi hari, sarapan wajib ketika aku masih aktif bekerja.  

Lalu dari 75kg turun ke 57kg? Ya, itulah yang terjadi, hampir-hampir tanpa aku sadari. Sesudah sakit di bulan Maret 2019, aku diwajibkan dokter minum beberapa jenis obat, terutamanya obak untuk mengontrol tekanan darah, yang menurut dokter akan wajib aku konsumsi seumur hidup. Subhanallah. Aku terpaksa patuh.

Setelah beberapa bulan menggunakan obat-obat itu, terjadi sesuatu yang agak aneh. Mulutku atau lebih tepatnya lidahku selalu merasa pahit. Aku hampir tidak bisa merasakan enaknya makanan apapun. Jadi makan apapun harus dipaksakan. Alhamdulillah, bahwa tubuhku secara keseluruhan cukup sehat. Di sekitar bulan September 2019 aku menyadari bahwa berat badanku sekitar 62 kg. Pada awal-awal sesudah kembali dari rumah sakit aku harus shalat sambil duduk di kursi, tapi pelan-pelan bisa aku lakukan dengan cara shalat normal, meski ada bagian-bagian tertentu, seperti duduk di antara dua sujud tidak dapat kulakukan dengan sempurna.

Tidak ada nafsu makan itu berlangsung sampai akhir tahun 2019. Waktu itu berat tubuhku tinggal 57 kg. Meski agak terlambat, aku berkesimpulan bahwa obat-obat yang dianjurkan dokter rumah sakit dulu itulah penyebabnya. Obat pengontrol tekanan darah yang dari rumah sakit itu aku hentikan dan aku ganti dengan obat sejenis yang pernah dianjurkan dokter klinik Total waktu aku masih bekerja dulu. Alhamdulillah obat pengganti ini sama efektif mengontrol tekanan darah. Dan bersyukur sekali, lidah pahit sedikit-sedikit mulai berkurang dan aku bisa merasakan enaknya makanan dengan lebih baik. 

Sekarang, sudah enam bulan di tahun 2020, selera makanku sudah boleh dikatakan normal. Tapi porsi makan jadi relatif lebih sedikit. Dan berat badanku hampir tidak beranjak dari 57 kg. Sebelum bulan puasa pernah sudah agak naik ke 59 kg tapi sesudah puasa kembali turun ke 57. 

Turunnya berat badan dari 75 ke 57 pastinya merubah postur tubuhku menjadi kurus. Tidak ada satupun celanaku yang enak dipakai. Semua longgar dan kedodoran. 

****            

Senin, 08 Juni 2020

Karena Corona 8 (habis)

Karena Corona 8 (habis) 

Ada seorang jamaah mesjid kami, warga komplek yang rajin mengirim postingan tentang agama melalui WA kepadaku. Meski kadang-kadang kiriman yang sama sudah pernah aku terima dari grup lain. Aku agak jarang mengomentari atau membalas postingannya. Selama beberapa bulan terakhir, sebagaimana sebagian besar jamaah warga komplek, beliau inipun absen dari mesjid di komplek. 

Hari Kamis yang lalu beliau mengirim info WA tentang akan dimulainya kembali shalat berjamaah di mesjid X (di lingkungan tempat dahulu beliau pernah tinggal) dan bahwa shalat Jum'at akan diadakan kembali hari Jum'at tanggal 5 Juni. Aku tidak mengomentari info seperti ini. Dalam hati aku berkomentar, syukurlah kalau mesjid X akan kembali difungsikan.

Dua hari kemudian beliau kembali mengirim postingan foto, suasana subuh di mesjid X, di tambah catatan pasca 'libur' Covid 19. Aku tidak tahu kenapa beliau mesti jauh-jauh pergi shalat subuh ke mesjid X. Membaca catatan sesudah 'libur' Covid 19 itu, tanganku gatal ingin sedikit berkomentar. Dan aku tulis, 'Syukurlah sudah kembali dari libur. Kami di mesjid di sini tidak kebagian libur.' Entahlah kalau jawabanku ini dinilai lancang. Yang jelas, sesudah itu beliau membalas agak panjang, mengatakan bahwa beliau bersyukur karena Allah telah memberi kesempatan mengamalkan perintahNya dan sekaligus sunnah NabiNya dan sunnah khalifatur rasyidin yaitu mentaati Allah, mentaati Rasul dan ulil amri, dengan mengisolasikan diri dari penularan waba yang melanda dunia, mengikuti fatwa seluruh lembaga fatwa ulama resmi  di seluruh dunia dan sesuai faham ahlus sunnah wal jama'ah, serta berlepas diri dari paham jabariyah maupun qadariyah.....

Nah lho.... Mula-mula aku geli membacanya. Kok jauh amat, ya?

Tapi akhirnya aku merasa bahwa aku harus menjelaskan. Karena mungkin banyak juga yang lain yang menyangka bahwa aku penganut paham jabariyah / qadariyah. Itulah awal dari penulisan catatan ini dari nomor satu sampai nomor delapan ini. 

Aku bukannya tidak menerima fatwa para ulama (dalam hal ini MUI). Seperti yang sudah kutulis, salah satu aturan yang disebutkan fatwa itu adalah, kalau anda sehat dan anda berada di lingkungan yang aman, anda tetap harus pergi ke mesjid shalat berjamaah. Itu yang aku patuhi.

Apakah aku mengingkari perintah ulil amri? Tidak, aku mencernanya dengan hati-hati. Buktinya, sebelum bulan puasa walikota memerintahkan (aku memahaminya sebagai menghimbau) agar tidak beraktifitas di mesjid. Ternyata sebulan kemudian, walikota menyatakan bahwa kelurahan kami berada di jalur hijau, silahkan kalau mau melaksanakan shalat Id. 

Wallahu a'lam....

****